Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Kemenkeu Terapkan Skema Pajak Kripto Baru untuk Perkuat Penerimaan Negara

Ilustrasi - Kemenkeu akan mengoptimalkan kebijakan perpajakan aset kripto sebagai strategi untuk menabah penerimaan negara.--freepik

BELITONGEKSPRES.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan akan mengoptimalkan kebijakan perpajakan aset kripto sebagai strategi untuk memperkuat penerimaan negara. Langkah ini sejalan dengan perubahan regulasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta, Selasa, menjelaskan bahwa perubahan aturan tersebut dipicu oleh peralihan kewenangan pengawasan kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan status baru, aset digital kini diperlakukan setara dengan surat berharga, sehingga pola pengenaan pajaknya ikut menyesuaikan.

Dalam aturan terbaru, terdapat sejumlah perbedaan mendasar. Pertama, transaksi aset kripto di platform resmi tidak lagi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini menandai pergeseran cara pandang pemerintah terhadap kripto yang sebelumnya masih dikategorikan sebagai komoditas. Kedua, untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 final, tarif transaksi kripto melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri ditetapkan sebesar 0,21 persen. Sementara itu, transaksi melalui PPMSE luar negeri maupun penyetoran mandiri dikenai tarif lebih tinggi, yakni 1 persen.

BACA JUGA:Indef: UMKM Bisa Sumbang Rp56 Triliun Pajak, Tapi Ada Tantangan Besar

BACA JUGA:Pemerintah Targetkan Hemat Rp500 Triliun Lewat Digitalisasi Penyaluran Bansos

Penyesuaian juga berlaku bagi aktivitas penambangan kripto. Jika sebelumnya miner dikenai PPh 22 final, mulai tahun fiskal 2026 mereka akan mengikuti tarif umum sesuai ketentuan pajak penghasilan. “Dulu kripto dipandang sebagai komoditas di bawah Bappebti sehingga ada PPN dan PPh final. Kini, karena posisinya disejajarkan dengan instrumen keuangan lain, maka mekanisme pajaknya diatur berbeda,” kata Yon Arsal.

Ia menambahkan, aturan ini sekaligus mengubah skema lama di mana PPh 22 final dikenakan sebesar 0,1 persen untuk transaksi di exchange terdaftar dan 0,2 persen untuk yang tidak terdaftar, sedangkan PPN dipatok 0,11 persen dan 0,22 persen. Dengan perubahan tersebut, Kemenkeu berharap kontribusi pajak kripto terhadap penerimaan negara dapat lebih optimal.

OJK mencatat, total nilai transaksi aset kripto sepanjang Januari hingga Juni 2025 mencapai Rp224,11 triliun. Meski demikian, pada Juni saja nilainya turun menjadi Rp32,31 triliun, atau anjlok 34,82 persen dibandingkan Mei 2025 yang sebesar Rp49,57 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa meski industri kripto tumbuh besar, volatilitasnya tetap menjadi tantangan yang perlu diantisipasi. (ant)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan