Dugder-an: Beragam Untuk Bersatu
H. Hamlet Subekti--
Kekhususan budaya Melayu memang belum nampak dengan tegas. Bisa jadi karena agak kabur atau tipis dengan budaya Jawa. Namun bukan mustahil kedepan berevolusi, budaya melayu terakomodir. Tanda-tanda pembauran itu mulai nampak dengan mulai dilakukan revitalisasi wilayah yang nantinya akan diberi nama Kampung Melayu karena dihuni oleh mayoritas pendatang Melayu Sumatera, yang terletak di pesisir pantura, di sekitar jalan arteri lintasan penghubung Kendal-Demak.
Simbol-simbol kemajemukan diciptakan lewat hewan imajiner yang menjadi _icon_ saat acara Dugderan diselenggarakan. Maskot binatang mitologis ini menggambarkan sebagai pemersatu tiga etnis mayoritas di Semarang termaktub diatas tadi, yang bagian-bagian tubuhnya terdiri dari: Naga (Cina), Buraq (Arab) dan Kambing (Jawa).
Maskot ini dikatakan dengan Warak Ngendog yang secara filosofis dimaknai sebagai "hasil berupa pahala yang didapat oleh seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci". Secara harfiah, bisa diartikan sebagai: "siapapun yang menjaga kesucian di bulan Ramadhan, kelak diakhir bulan akan mendapatkan pahala di hari lebaran".
Tak dapat dipungkiri bahwa dominasi Islam menjadi tegas. Artinya, seorang muslim harus mampu mempersatukan segenap elemen yang berada di keberagaman tersebut. Di situ makna syi'ar Islam mempersatukan menjadi kental. Rahmatan lil alamin. Artinya lagi, Muslim mengajak, bukan larut pada budaya lain.
BACA JUGA:Kesehatan 6.0
BACA JUGA:Sekali Lagi Tentang Urgensi Perpres
Kirab dugderan tahun ini (1445 H) di mulai dari Balaikota menuju Masjid Kauman Kota Semarang (Johar) dan berakhir di Masjid Agung Jawa Tengah (Jl. Gajah). Budaya ini sudah berlangsung cukup lama, sejak 1881 M, saat Bupati dijabat oleh Kanjeng Raden Mas Arya Adipati Purbaningrat.
Soal pendanaan, sepenuhnya menjadi tanggungjawab APBD Kota Semarang. Dan tak perlu diadakan semacam festival berlama-lama, karena ummat Islam akan fokus dan khusu' untuk sebulan penuh menempa diri, beribadah untuk ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagaimana Al-Baqarah 183.(*)
*) Oleh: H. Hamlet Subekti