Tantangan Menuju Keadilan Pajak di Era E-Commerce

Ilustrasi: Warga mengakses aplikasi belanja daring di Rangkasbitung, Lebak, Banten--(ARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/tom)
JAKARTA, BELTONGEKSPRES.COM - Pajak sering kali dianggap sebagai beban oleh pelaku usaha kecil, terutama mereka yang bergerak di sektor digital dan e-commerce. Namun, sejatinya, pajak adalah instrumen penting dalam mewujudkan keadilan ekonomi. Jika dirancang dengan baik—inklusif, transparan, dan mudah diakses—sistem perpajakan justru bisa menjadi pendorong pertumbuhan, bukan penghambat.
Semangat itulah yang kembali menghidupkan wacana lama tentang pelibatan platform e-commerce sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) bagi para pedagang yang berjualan secara daring (online). Dalam skema ini, platform seperti marketplace atau aplikasi jual beli digital akan bertindak sebagai pemotong atau pemungut pajak langsung atas transaksi yang terjadi di dalam sistem mereka.
Wacana ini bukan hal yang baru. Pada tahun 2018, pemerintah sebenarnya sempat menggulirkan kebijakan serupa melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce). Regulasi tersebut mengatur mekanisme pengenaan PPN dan PPh terhadap pelaku e-commerce, termasuk kewajiban pelaporan dan pemungutan oleh platform digital.
Namun, kebijakan itu tidak berumur panjang. PMK 210/2018 dicabut pada tahun berikutnya karena dinilai belum siap diterapkan secara teknis. Sejumlah tantangan mendasar mengemuka, mulai dari kesiapan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di sektor digital, hingga infrastruktur perpajakan digital yang belum sepenuhnya mendukung penerapan sistem pemungutan otomatis oleh platform.
Di sisi lain, masih banyak pelaku usaha daring yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), belum terbiasa dengan sistem pembukuan, atau bahkan tidak memahami secara penuh apa yang menjadi kewajiban perpajakan mereka.
Pemerintah pun menyadari bahwa tanpa pendekatan yang inklusif dan kolaboratif, kebijakan pajak di sektor e-commerce justru bisa menciptakan ketimpangan baru.
Sebaliknya, jika diterapkan dengan hati-hati dan berbasis pada pemahaman kondisi riil di lapangan, kebijakan ini dapat menjadi salah satu langkah penting dalam meningkatkan kepatuhan pajak, memperluas basis penerimaan negara, sekaligus memperkuat rasa keadilan fiskal.
Kini, dengan ekosistem digital yang semakin matang, infrastruktur perpajakan yang mulai terdigitalisasi, dan kesadaran pajak yang terus ditingkatkan, wacana penunjukan platform e-commerce sebagai pemungut PPh pun kembali bergulir.
Namun demikian, jalan menuju keadilan pajak digital masih panjang. Dibutuhkan dialog terbuka antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat untuk merumuskan solusi bersama yang tidak hanya efektif secara fiskal, tetapi juga adil dan berkelanjutan secara sosial.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengungkapkan bahwa mekanisme pemungutan pajak seperti ini sebenarnya sudah diterapkan di berbagai platform digital global, seperti Google dan Netflix.
Melalui kebijakan serupa, pemerintah kini ingin memperluas kemitraan dengan platform e-commerce dalam negeri agar dapat berperan sebagai pemungut pajak.
BACA JUGA:DPR Kritik Pedas Rencana Pajak UMKM Digital: Rakyat Sedang Berdarah-darah, Malah Ditambah Beban
Lebih dari lima tahun sejak wacana ini pertama kali muncul, pasar digital Indonesia telah mengalami perubahan besar. Pengguna e-commerce meningkat tajam, pelaku usaha mikro kian banyak yang beralih ke platform daring, dan digitalisasi UMKM telah menjadi salah satu agenda strategis nasional.
Karena itu, pelibatan platform digital sebagai jembatan dalam proses pemungutan pajak tidak hanya menjadi langkah yang semakin relevan, tetapi juga merupakan kebutuhan yang mendesak di era ekonomi digital yang terus berkembang.