Mengungkap Penyebab PHK Massal dan Upaya Pencegahannya

Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat 28 Februari 2025--(ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc)
Meski demikian, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan bahwa sektor manufaktur tetap mengalami pertumbuhan. Bahkan, jumlah tenaga kerja baru yang terserap lebih besar dibandingkan angka PHK.
Data dari Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, sektor perindustrian nasional yang mulai berproduksi telah menyerap 1.082.998 tenaga kerja. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah pekerja yang mengalami PHK, yang menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tercatat sebanyak 48.345 orang pada periode yang sama.
Perlu dicatat bahwa jumlah pekerja yang terkena PHK tahun lalu bukan hanya berasal dari sektor manufaktur, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai subsektor ekonomi.
Data ini mencerminkan bahwa industri manufaktur terus berkembang dengan semakin banyak perusahaan yang bermunculan dan mulai beroperasi. Bahkan, jumlah tenaga kerja baru yang diserap lebih besar dibandingkan jumlah pekerja yang mengalami PHK di berbagai sektor ekonomi.
BACA JUGA:Menuju 100 Tahun Modernisasi Kelapa di Indonesia
Selain itu, jumlah tenaga kerja di industri pengolahan nonmigas terus meningkat, dari 17,43 juta orang pada 2020 menjadi 19,96 juta orang pada 2024, atau bertambah sebanyak 2,53 juta pekerja.
Menariknya, rasio penyerapan tenaga kerja baru di sektor manufaktur dibandingkan jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 1 banding 20. Ini berarti, untuk setiap 1 pekerja yang terkena PHK, sektor manufaktur mampu menciptakan 20 lapangan pekerjaan baru.
Tren ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2022, rasio tersebut masih di angka 1:5, kemudian naik menjadi 1:7 pada 2023, dan melonjak menjadi 1:20 di 2024. Hal ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur semakin kuat dalam menyerap tenaga kerja dan berkontribusi positif terhadap perekonomian nasional.
Upaya Meminimalisasi Dampak PHK
Untuk mencegah tutupnya pabrik dan menekan angka PHK, pemerintah telah menyiapkan berbagai insentif bagi sektor industri.
Salah satu kebijakan terbaru adalah perpanjangan subsidi gas industri melalui Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 76K Tahun 2025.
Meski harga subsidi gas mengalami kenaikan sebesar 0,5 dolar AS menjadi 7 dolar AS per million British thermal unit (MMBTU) atau setara 29,41 liter solar, pelaku industri yang menerima insentif ini optimis kebijakan tersebut akan meningkatkan daya saing dan kinerja industri.
BACA JUGA:Setelah BRICS, Indonesia Kejar Target Gabung ke OECD
Sektor yang menerima manfaat dari HGBT mencakup industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Sebagai contoh, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyatakan bahwa kebijakan ini akan meningkatkan utilitas sektor keramik dan menghindari ancaman PHK di industri tersebut. Bahkan, dengan adanya HGBT, Asaki berencana melanjutkan ekspansi tahap kedua senilai Rp4 triliun yang sebelumnya tertunda.
Ekspansi ini diproyeksikan mampu meningkatkan kapasitas produksi ubin keramik domestik hingga 45 juta meter persegi serta membuka lapangan kerja bagi 5.000 tenaga kerja baru.