Fikri Jufri

Dahlan Iskan--

BACA JUGA:Lubang Sama

Selesai magang, saya kembali ke Samarinda. Sebenarnya saya tidak boleh pulang. Bur Rasuanto, wakil pemimpin redaksi saat itu, mengatakan bahwa saya memenuhi syarat jadi wartawan TEMPO di Jakarta. Tapi saya terikat kontrak: harus kembali ke koran yang mengirim saya ke Jakarta. Saya harus menerapkan hasil pendidikan di Jakarta untuk memajukan koran daerah.

Akhirnya saya diminta merangkap menjadi wartawan TEMPO di Kaltim. Saya pun pulang ke Samarinda dengan mengantongi Kartu Pers TEMPO. Rasanya gagah sekali.

Saya baru mengenal Fikri Jufri setelah kantor TEMPO pindah ke Pasar Senen. Ruangannya besar sekali. Tidak ada sekat yang memisahkan antara wartawan dan redaktur. Siapa pun bisa melihat siapa pun.

Suatu ketika saya ke Jakarta. Mampir ke kantor TEMPO di Proyek Senen itu. Saya bisa melihat roh itu yang namanya Fikri Jufri: tinggi, besar, kulitnya putih, rambutnya keriting.

Fikri sering berbicara dengan redaktur wanita Toety Kakilailatu dalam bahasa Belanda. Atau dengan George Junus Aditjondro dalam bahasa Inggris. Sambil tertawa-tawa. Saya perhatikan dari jauh dengan rasa minder. Minder sekali. Wartawan dari kota kecil.

Suatu saat saya dipanggil orang hebat itu. Ternyata Fikri sedang memegang kertas hasil ketikan saya. Ia merasa tidak mengerti dengan apa yang saya tulis. Ia juga mengatakan "lead" tulisan saya (alenia pertama sebuah tulisan) sangat tidak menarik.

Fikri minta saya mengganti "lead" itu. Lama saya mikir. Tidak ketemu. Fikri teriak. Mana "lead" yang baru. Saya paksakan bikin "lead" sekuat pikiran saya.

"Masih belum menarik," katanya. "Bikin lagi," tambahnya.

Setelah empat kali ganti "lead" akhirnya Fikri bilang: "ini baru menarik". Ia pun lantas memasukkan "lead" baru itu ke dalam tulisan saya yang sudah ia rombak total.

Menulis "lead" untuk majalah mingguan jauh lebih sulit daripada menulis lead untuk surat kabar. Tapi, kelak, saat memimpin Jawa Pos saya mengharuskan wartawan menulis "lead" yang baik meskipun untuk koran.

Fikri adalah guru saya di bidang penulisan "lead". Selebihnya saya hanya mengenalnya sebagai wartawan yang hebat. Ia wartawan ekonomi yang luar biasa. Lobi-lobi-nya dengan kalangan atas sangat luas. Dengan para menteri ekonomi dan keuangan. Juga dengan para pengusaha besar.

Fikri Jufri adalah satu-satunya wartawan yang mampu melakukan wawancara khusus dengan konglomerat nomor satu Indonesia saat itu: Liem Sioe Liong. Hasil wawancara itu dimuat sebagai laporan utama. Oplah TEMPO mencapai rekor tetinggi dalam sejarahnya: 175.000 eksemplar. (Dahlan Iskan)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan