Pendistribusian Pupuk Subsidi Tepat Sasaran Perkuat Ketahanan Pangan

Ilustrasi - Pekerja mengangkut karung pupuk urea di gudang-(ANTARA/Dedhez Anggara/dok)-Ilustrasi - Pekerja mengangkut karung pupuk urea di gudang
Para petani dapat membeli pupuk subsidi sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan, harga pupuk urea Rp2.250 per kilogram, NPK Rp2.300 per kilogram, NPK untuk kakao Rp3.300 per kilogram, dan pupuk organik Rp800 per kilogram.
Dengan subsidi pupuk, diharapkan petani dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas hasil panen. Pupuk bersubsidi bukan sekadar bantuan, tetapi investasi untuk masa depan demi pertanian Indonesia yang lebih kuat dan mandiri. Hal tersebut juga menjadi langkah strategis pemerintah dalam memastikan ketersediaan pangan nasional serta menjaga stabilitas harga pangan di pasar.
BACA JUGA:Reshuffle Kabinet Jilid 1 Prabowo: Strategi atau Dinamika Politik?
Jika dilihat dari ketentuan yang telah diterapkan, seyogyanya penyaluran pupuk bersubsidi bisa tepat sasaran dan seharusnya sudah tidak ada lagi kabar kelangkaan pupuk subsidi yang dialami petani.
Namun kenyataan di lapangan, hampir setiap tahun selalu tersiar kabar mengenai kelangkaan pupuk bersubsidi di daerah tertentu, yang kemudian berjejal informasi tentang pengungkapan kasus penyalahgunaan pupuk bersubsidi oleh pihak kepolisian.
Menjelang akhir tahun lalu, tepatnya pada November 2024, penyalahgunaan pupuk bersubsidi terjadi di wilayah Jawa Barat. Hal itu terungkap setelah Polda Jabar membongkar aksi penimbunan barang subsidi jenis pupuk subsidi, dengan menyita sebanyak 33,973 ton pupuk bersubsidi.
Dalam kasus tersebut, pelaku melakukan aksi penimbunan pupuk sejak awal tahun hingga Oktober 2024. Kemudian pupuk bersubsidi yang ditimbun dijual pada saat petani membutuhkan dengan harga di atas HET.
Penyalahgunaan pupuk bersubsidi juga terungkap oleh Satgas Pangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri di wilayah Kabupaten Tanggerang, Banten.
BACA JUGA:Insentif Pajak Hijau untuk Ekonomi Berkelanjutan
Para pelaku menggunakan modus pemalsuan data para penerima pupuk bersubsidi, seperti mencantumkan nama petani yang sudah meninggal dunia sebagai penerima pupuk bersubsidi. Kemudian, setelah pupuk didapat, pelaku menjualnya kepada yang bukan berhak, dengan harga di atas rata-rata.
Akibat kasus penyalahgunaan pupuk bersubsidi itu, negara mengalami kerugian hingga mencapai puluhan miliar.
Dengan begitu, meski ketentuan yang cukup ketat diterapkan dalam pendistribusian pupuk bersubsidi, tetap harus ada pengawasan yang optimal dari berbagai pihak.
Selain dari pihak kepolisian, perlu peran serta petani dan kelompok tani, serta instansi pemerintah dalam melakukan pengawasan pendistribusian pupuk bersubsidi. Hal yang lebih penting, keberadaan Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) di setiap daerah harus lebih dirasakan aksinya. Wadah organisasi instansi terkait dalam pengawasan pupuk dan pestisida yang dibentuk oleh gubernur untuk tingkat provinsi, dan untuk bupati/walikota untuk tingkat kabupaten/kota harus bergerak di masa-masa petani membutuhkan pupuk.
Jika semua pihak mengawal ketentuan atau regulasi terkait penyaluran atau pendistribusian pupuk bersubsidi, kejadian penyalahgunaan pupuk bersubsidi tidak hanya berkurang, tapi mungkin bisa hilang, dan pendistribusian pupuk bersubsidi bisa tepat sasaran. Sejurus kemudian, petani bisa fokus melakukan aktivitas produksi tanpa mengkhawatirkan kelangkaan pupuk. ujung-ujungnya produktivitas pangan akan meningkat dan ketahanan pangan akan terwujud.
BACA JUGA:Tuntutan Regulasi Baru Ojol Cermin