Menguatnya Rupiah di Google dan Ilusi Digital yang Menyesatkan
Ilustrasi- Petugas menghitung uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta-Reno Esnir/nym-ANTARA FOTO
Jika terjadi kesalahan dalam sumber data yang mereka gunakan atau ada gangguan dalam algoritma yang memproses informasi, maka data yang muncul di mesin pencari pun bisa meleset jauh dari kenyataan.
Sayangnya, tidak semua pengguna memahami mekanisme ini. Bagi sebagian besar orang, apa yang muncul di layar Google adalah fakta mutlak, bukan sekadar data yang perlu dicek ulang.
Kesalahan seperti ini berpotensi menimbulkan dampak ekonomi yang lebih besar dari sekadar perbincangan media sosial.
Di era digital, keputusan ekonomi sering kali dibuat dalam hitungan detik berdasarkan data yang tersedia.
Bayangkan jika seorang eksportir menggunakan informasi dari Google untuk membuat keputusan harga jual, atau jika seorang investor asing tiba-tiba menarik dananya karena menganggap ada anomali besar dalam perekonomian Indonesia.
Kesalahan data di platform sebesar Google, meskipun bukan berasal dari niat jahat, bisa memicu gelombang reaksi berantai yang berisiko menimbulkan kepanikan di pasar keuangan.
BACA JUGA:Tantangan dan Pencapaian 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
Dari perspektif ekonomi makro, tidak ada alasan fundamental yang bisa menjelaskan apresiasi rupiah ke level Rp8.170 per dolar dalam kondisi saat ini.
Untuk mencapai angka tersebut, Indonesia harus mengalami surplus neraca perdagangan yang luar biasa besar, lonjakan investasi asing dalam jumlah yang masif, serta perbaikan struktural di berbagai sektor yang dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional secara signifikan.
Tidak ada satu pun indikator ekonomi yang menunjukkan tren ke arah sana dalam waktu singkat.
Bahkan dalam kondisi terbaik, penguatan rupiah tidak akan terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang yang mencerminkan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan.
Fenomena ini juga menunjukkan pentingnya regulasi dalam penyebaran informasi keuangan di era digital.
Sebab sampai saat ini belum ada mekanisme yang menjadi jaminan kepastian bahwa data kurs yang ditampilkan oleh platform seperti Google harus akurat atau diperiksa secara berkala oleh otoritas keuangan.
BACA JUGA:Subsidi Gas Melon, Untung atau Buntung?
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan memiliki tugas menjaga stabilitas sistem keuangan, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk mengontrol bagaimana platform digital menyajikan informasi ekonomi.