100 Hari Kerja Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana Alam

Logo BNPB--

Bahkan berbagai studi telah menunjukkan bahwa jenis bencana hidrometeorologi itu adalah yang paling banyak terjadi ketimbang bencana lainnya sekalipun letak geografis Indonesia di khatulistiwa yang hanya mengenal dua musim saja, yakni musim hujan dan kemarau.

BACA JUGA:Tantangan dan Pencapaian 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

Faktor eksternal seperti rusaknya kawasan hutan dan daerah aliran sungai karena beralih fungsi untuk aktivitas ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, dan permukiman juga turut memperparah kondisi dampak bencana. Terbukti sedikitnya pada 2021-2022 Kementerian Kehutanan melaporkan jumlah hutan rusak di Indonesia mencapai 104 ribu hektare.

Oleh karena itu, BNPB tidak punya pilihan bagi bangsa Indonesia selain menciptakan resiliensi melalui serangkaian aksi sehingga dampak dari berbagai kerawanan bencana itu dapat diperkecil.

Kerusakan lingkungan dan bencana alam itu berhubungan nyata dalam mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi di daerah. Semuanya itu terpetakan secara baik oleh lembaga negara yang berlambang segitiga berwarna biru itu. BNPB mencatat secara rinci risiko yang ditimbulkan karena bencana alam di Indonesia tergolong besar.

Pada medio tahun 2023 terdata lebih dari 20.736 jiwa orang terdampak bencana tanah longsor. Nilai kerugian akibat kerusakan fisik ditaksir mencapai Rp180,831 miliar, kerugian ekonomi sekitar Rp515,194 miliar, dan memicu kerusakan lingkungan seluas 7,686 ribu hektare.

Demikian halnya bencana banjir yang berdampak kepada lebih dari 109.618 jiwa dan menimbulkan nilai kerugian akibat kerusakan fisik sekitar Rp526,654 miliar, hingga memicu kerugian ekonomi sekitar Rp480,264 miliar, dan kerusakan lingkungan seluas 4,225 ribu hektare.

BACA JUGA:Subsidi Gas Melon, Untung atau Buntung?

Sementara gempa bumi dengan luas yang berisiko menyasar 60,182 ribu hektare dengan jumlah warga terdampak sebanyak 131.881 jiwa, dengan nilai kerugian akibat kerusakan fisik sekitar Rp654,610 miliar lebih dan kerugian ekonomi sekitar Rp9,753 miliar.

Kemudian risiko bencana likuefaksi menyasar lebih dari 77.370 jiwa warga yang terdampak dengan nilai kerugian akibat kerusakan fisik sekitar Rp208,655 miliar, kerugian ekonomi sekitar Rp143,220 miliar dan kerusakan lingkungan seluas 1,434 ribu hektare.

Selanjutnya cuaca ekstrem memiliki indeks risiko tertinggi yang tercatat ada sebanyak 226.329 jiwa terdampak dengan nilai kerugian akibat kerusakan fisik sekitar Rp1,962 triliun, kerugian ekonomi sekitar Rp781,335 miliar, dan luas kerusakan lingkungan lebih dari 4,22 juta hektare.

Strategi

BNPB berjanji memberikan dukungan penuh untuk mempercepat proses transisi, terutama dalam membantu masyarakat yang terdampak. Rumah-rumah yang rusak, baik ringan, sedang, maupun berat, menjadi prioritas untuk segera didata agar proses bantuan dapat dilakukan tanpa penundaan.

Namun masalahnya, belum semua pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota memahami mekanisme pengelolaan kebencanaan secara menyeluruh. Ditambah lagi keterbatasan kemampuan keuangan daerah sehingga menopang pada pemerintah pusat juga menjadi tantangan besar dalam menghadapi situasi bencana.

BACA JUGA:Jejak Misteri Hormesis: Rahasia di Balik Dosis Kecil

Oleh karena itu, BNPB menilai pembenahan tata kelola kebencanaan di tingkat daerah menjadi fokus utama mereka. Pengetatan administrasi yang menjadi pijakan pertama guna memastikan semua berjalan secara clean and clear.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan