Subsidi Gas Melon, Untung atau Buntung?

Pekerja melakukan bongkar muat elpiji 3 kg atau gas melon bersubsidi-- (ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/nyo)

Jika merujuk pada realitas sosiologis di lapangan, subsidi energi, terkhusus subsidi gas elpiji 3 kg memang harus ditata ulang, baik dari hulu maupun hilir. Tata ulang dari sisi hulu, akan menyelamatkan impor energi yang makin menggelembung, termasuk impor gas elpiji. Dan dari sisi hilir, akan menyelamatkan subsidi pada yang berhak, yakni rumah tangga tidak mampu, yang memang punya hak normatif atas subsidi energi.

Pemerintah jangan bersikap ambigu dan bernuansa politis, untuk mendorong terwujudnya subsidi energi yang tepat sasaran secara holistik, baik di sektor listrik, BBM, dan gas elpiji. Apalagi jika pemerintah konsisten dengan komitmen global bahwa terkait subsidi, tidak bisa dilepaskan dengan upaya mewujudkan Nett Zero Emission (NZE).

Bagaimana mau mewujudkan NZE jika subsidi pada energi fosilnya (BBM, listrik, gas elpiji) masih sangat dominan. Jika basis filosofinya aspek ekologis dengan instrumen NZE, maka subsidi pada energi fosil (termasuk gas elpiji), adalah kebijakan yang paradoks. Keadilan ekologis subsidi energi, hanyalah untuk energi baru terbarukan, bukan energi fosil.

BACA JUGA:Kecurangan Pengisian Gas Elpiji 3 Kg, Mendag Sebut Kerugian Konsumen Capai Rp1,7 Miliar Per Tahun

Subsidi gas elpiji 3 kg harus dikelola dengan lebih baik agar tepat sasaran dan tidak menyimpang dari tujuannya. Baik melalui distribusi tertutup, pengurangan disparitas harga, atau subsidi berbasis individu, pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret. Dengan pengelolaan yang transparan dan terarah, subsidi energi dapat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang membutuhkan, sekaligus mendukung upaya penghematan energi nasional.

*) Tulus Abadi adalah pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, Pengurus Harian YLKI.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan