Subsidi Gas Melon, Untung atau Buntung?

Pekerja melakukan bongkar muat elpiji 3 kg atau gas melon bersubsidi-- (ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/nyo)

Sesungguhnya, agar terhindar dari aksi pengoplosan, dan atau ukuran volume yang tepat, konsumen sebagai pengguna gas elpiji bisa membelinya di agen resmi. Termasuk membeli di retailer modern.

Murahnya harga gas elpiji 3 kg, juga menyebabkan upaya pemerintah dan PT PGN dalam mengembangkan jaringan gas (jargas) rumah tangga menjadi mati suri, alias tidak berkembang.

Mana mungkin jargas dengan harga gas Rp 12.000 per kg, harus berkompetisi dengan harga gas elpiji 3 kg yang hanya dibanderol Rp 7.500 kg. Yang ada, banyak pelanggan jargas rumah tangga yang justru ikut-ikutan migrasi (turun kelas) menjadi konsumen gas melon.

Padahal harga keekonomian gas alam sejatinya lebih murah, karena tidak impor. Sedangkan gas elpiji 70 persen masih dipasok dari impor.

Sejatinya, solusi untuk mengatasi fenomena ini sederhana, gampang saja. Asal ada komitmen yang sungguh-sungguh, misalnya, lakukan distribusi tertutup, seperti awal gas melon dicanangkan pada 2006. Artinya, distribusi tertutup itu menjadi instrumen untuk memberikan jaminan bahwa yang membeli gas elpiji 3 kg adalah masyarakat yang berhak, yakni rumah tangga miskin.

BACA JUGA:Gus Dur, Abdul Mu'ti, dan Libur Ramadhan

Upaya Kementerian ESDM dan PT Pertamina untuk melakukan pengendalian distribusi dengan akses My Pertamina dan KTP, ini sejatinya hal yang masuk akal, sebagai upaya untuk menjadikan distribusi tertutup, sehingga subsidi gas elpiji 3 kg benar benar tepat sasaran, sebagaimana mandat Pasal 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. UU Energi memandatkan bahwa yang berhak atas subsidi energi adalah masyarakat tidak mampu.

Selain dengan instrumen distribusi tertutup, instrumen kebijakan lainnya adalah memperkecil disparitas harga gas elpiji. Lagi lagi ini harus ada nyali untuk mengeksekusinya, apakah pemerintah berani menaikkan harga gas melon, yang memang belum pernah direview sejak 2006, atau PT Pertamina legowo untuk menurunkan harga gas elpiji non subsidinya.

Untuk hal ini Pertamina pasti ogah, karena artinya margin profitnya akan tergerus, alias merugi. Sebab sesuai regulasi, harga gas non subsidi adalah aksi korporasi (domainnya Pertamina), bukan aksi regulasi seperti gas melon.

Sekalipun jika opsinya harga gas melon yang direview (disesuaikan/dinaikkan), sejatinya konsumen bisa merespon dengan perubahan perilaku konsumsi di level rumah tangganya. Sebagai contoh, banyak rumah tangga miskin yang tersandera oleh konsumsi rokok, yang rata rata mencapai 10-11 persen dari total pengeluarannya.

Jika perilaku tingginya konsumsi produk adiktif ini bisa digeser, maka kenaikan harga gas elpiji, tarif listrik, tarif PAM, harga lauk pauk, akan bisa tertutupi oleh migrasi atas tingginya belanja masyarakat untuk membeli rokok.

Opsi yang ketiga, alihkan subsidi gas elpiji pada orangnya sebagai penerima subsidi, by name by address. Ini lebih fair, daripada subsidi pada barangnya. Subsidi apa pun jika dilekatkan pada barang, pasti akan banyak terjadi distorsi dan anomali, termasuk subsidi pada gas elpiji 3 kg.

Maka untuk mengimplementasikan subsidi gas elpiji berbasis orang (penerima), basisnya adalah DTKS (Data Terpadu Kemiskinan Sosial) milik Kemensos. Mengacu DTKS inilah kepastian siapa yang berhak dan tidak berhak atas subsidi (subsidi apa pun).

BACA JUGA:Strategi Cegah TPPO Secara Konsisten dan Menyeluruh

Jadi, untuk menyelamatkan agar subsidi gas elpiji 3 kg tepat sasaran, ya, opsinya hanya tiga instrumen kebijakan itu; distribusi tertutup, memperkecil disparitas harga, atau subsidi berbasis orang, bukan barang. Ketiga kebijakan itu masing-masing ada risikonya, ada plus minusnya. Kecuali pemerintah punya banyak fulus untuk memasok subsidi elpiji 3 kg, yang saat ini jumlahnya mencapai hampir 90 juta tabung.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan