Pemanfaatan Hutan untuk Cadangan Pangan Indonesia

Alah seorang petani hutan Lampung sedang memeriksa tanaman kakao yang diusahakannya di kawasan hutan-Ruth Intan Sozometa Kanafi-ANTARA

BACA JUGA:Strategi Kepemimpinan Ekonomi Berlandaskan Etika

Terdapat 29 juta hektare kawasan hutan yang tidak berhutan, dengan lokasi yang menyebar dan kondisi lapangan beragam, dan di antara kawasan hutan yang tidak berhutan tersebut ada yang berupa permukiman, kebun, sawah, maupun lahan telantar dan terdegradasi.

Karena itu, agar lahan telantar di kawasan hutan tidak boleh dibiarkan tanpa pengelolaan, karena akan menjadi sumber konflik yang mengancam stabilitas sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

Di kawasan hutan produksi, lahan terdegradasi harus segera direhabilitasi dengan pohon dan tanaman komersial, termasuk kelapa sawit dan tanaman pangan, dengan agroforestri pola tertentu melalui skema multiusaha kehutanan, sehingga produktivitas hutan meningkat dan luasan tutupan hutan juga akan meningkat.

Artinya, penanaman sawit dan tanaman pangan dengan pola agroforestri di kawasan hutan produksi yang terdegradasi justru berpotensi menghadirkan penghutanan kembali atau reforestasi, bukan konversi hutan atau deforestasi. Sementara lahan terdegradasi di kawasan hutan lindung dan konservasi harus direhabilitasi dengan pohon dan tanaman lain yang tidak mengakibatkan perubahan fungsi pokok kawasan.

BACA JUGA:Saat Kecerdasan Buatan Makin Cerdas

Sementara itu, ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta (UPNVJ) Achmad Nur Hidayat mengatakan pemanfaatan 20 juta hektare hutan yang diidentifikasi oleh Kementerian Kehutanan sebagai cadangan pangan, energi, dan air memerlukan kajian mendalam mengenai keberlanjutan ekosistem hutan.

Bila hutan-hutan yang itu berstatus hutan lindung, maka mengalihfungsikan untuk kebutuhan pangan dan lainnya dapat mengancam keberlangsungan ekosistem, sebab hutan lindung menjadi penjaga keseimbangan lingkungan, penyedia oksigen, pengatur tata air, serta habitat keanekaragaman hayati yang tinggi, mengurangi biodiversitas dan merusak habitat flora dan fauna yang menjadi ciri khas ekosistem tersebut.

Pengalihfungsian hutan untuk pertanian intensif juga sering kali merusak struktur tanah, mengurangi kesuburannya dan meningkatkan risiko erosi, terutama di wilayah berbukit atau berlereng curam.

Pemanfaatan hutan sebagai lahan produksi pangan, seringkali membuka peluang ekspansi besar-besaran oleh perusahaan besar yang bisa menggeser masyarakat lokal dan adat dari wilayah mereka. Hal ini bisa menimbulkan konflik sosial serta mengabaikan hak masyarakat adat yang sering kali bergantung pada hutan untuk mata pencaharian.

BACA JUGA:Radikalisme dan Atheisme Digital Selama 2024

Dengan ini perlu dipikirkan bagaimana pemanfaatan hutan sebagai cadangan pangan tetap sejalan dengan prinsip keberlanjutan, dengan tetap menjaga hutan lindung dan hutan konservasi dari perubahan fungsi. Bila terdapat lahan hutan yang mengalami kerusakan atau degradasi, langkah pertama adalah melakukan rehabilitasi untuk memulihkan fungsinya.

Mengganti fungsi hutan lindung atau konservasi menjadi lahan pangan,energi, atau air bukanlah solusi yang berkelanjutan.

Pemerintah mendorong intensifikasi pertanian di lahan yang sudah ada dengan memanfaatkan teknologi modern, meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, memberdayakan petani melalui pendidikan dan pelatihan, sehingga hasil panen dapat ditingkatkan, tanpa perlu membuka lahan baru.

Jika pemanfaatan hutan produksi dipilih sebagai cadangan pangan, maka pengelolaan harus dilakukan dengan pengawasan ketat. Pemegang izin pengelolaan hutan perlu diaudit secara berkala untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan lahan, terutama pada era yang berdekatan dengan hutan lindung. Sanksi tegas juga diperlukan terhadap pelanggaran, termasuk izin pengelolaan bagi perusahaan yang tidak bertanggung jawab.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan