KUR dan Jalan Panjang Menuju Efektivitas Penyaluran
Pedagang melayani pesanan pembeli di Pasar Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Selasa (7/1/2025). Kantor wilayah Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Sulawesi Tenggara mencatat realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di wilayah itu peri-Andry Denisah/YU-ANTARA FOTO
Mereka menemukan bahwa meskipun KUR bertujuan meningkatkan akses permodalan bagi UMKM, implementasinya menghadapi tantangan seperti kurangnya sosialisasi dan koordinasi antara dinas terkait, serta minimnya pendampingan usaha bagi penerima KUR. Hal ini mengakibatkan penyaluran KUR belum optimal dalam mendorong pengembangan UMKM.
Dengan berbagai kajian yang menunjukkan bahwa meskipun KUR memiliki potensi besar dalam mendorong pengembangan UMKM di Indonesia, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi agar program ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan.
Faktanya memang hingga saat ini KUR masih menjadi salah satu kebijakan andalan sebagai solusi untuk memperkuat ekonomi kerakyatan.
Pada 2025, Pemerintahan Prabowo-Gibran bahkan telah menetapkan target penyaluran hingga Rp300 triliun sekaligus menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam mengupayakan dukungan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
BACA JUGA:Drama Korea Shin Tae-yong di Timnas Indonesia Selesai
Namun, ke depan harus dipastikan bahwa program ini benar-benar mampu menjawab kompleksitas kebutuhan para pelaku usaha. Bukan hanya sekadar angka besar yang lebih bersifat simbolis daripada strategis.
Kegalauan tersebut penting untuk diperhatikan, bukan untuk meragukan, melainkan untuk memastikan bahwa langkah besar ini tidak kehilangan arahnya.
KUR, dalam segala kelebihannya, kerap dipahami secara dangkal sebagai pemberian modal semata. Padahal, esensinya lebih dari itu.
Ini tentang membuka akses, menciptakan peluang, dan memberi ruang bagi UMKM untuk tumbuh, bahkan melompat lebih jauh.
Namun, dalam praktiknya, program ini memang masih sering terkendala oleh pendekatan yang cenderung seragam.
Sebuah warung kelontong di pinggir kota misalnya, membutuhkan dukungan yang berbeda dibandingkan petani di pelosok desa.
Begitu pula seorang perajin di sentra industri rumahan membutuhkan skema yang tak sama dengan pelaku usaha jasa di kota besar. Kenyataan ini menunjukkan satu hal, fleksibilitas KUR yang masih menjadi pekerjaan rumah.
BACA JUGA:Menggapai Ketahanan Pangan dengan Memanfaatkan Lahan Bekas Rob
Di lapangan, KUR sering kali terlihat hanya mengalir ke mereka yang "cukup siap". Artinya, pelaku UMKM yang telah memiliki akses ke perbankan lebih mudah mendapatkan bantuan ini dibandingkan mereka yang belum terjangkau sistem formal.
Padahal, kelompok yang tidak terjangkau inilah yang sering kali paling membutuhkan bantuan. Mereka adalah petani kecil, nelayan, atau pedagang kaki lima yang terbatas aksesnya pada teknologi maupun edukasi keuangan.