IESR Menilai Produksi B40 Tak Cukup Tanpa Peningkatan Kapasitas CPO

Ilustrasi produksi BBM-(Istimewa-

BELITONGEKSPRES.COM - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, memberikan analisis kritis terhadap kebijakan B40 sebagai upaya mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) dan mencapai swasembada energi yang diinginkan Presiden Prabowo Subianto. 

Ia menyoroti potensi manfaat sekaligus risiko dari implementasi bahan bakar nabati berbasis crude palm oil (CPO).

Menurut Fabby, peningkatan konsumsi BBM impor menjadi alasan utama pemerintah mendorong kebijakan B40. Namun, tantangan utama terletak pada kesenjangan antara kebutuhan dan produksi minyak sawit dalam negeri. Saat ini, produksi CPO stagnan di angka 45–47 juta ton per tahun, sementara kebutuhan bahan bakar nabati terus meningkat. 

Untuk mendukung B40, diperlukan tambahan 5–6 juta ton CPO per tahun, yang berisiko mengganggu pasokan CPO untuk kebutuhan domestik lainnya, seperti minyak goreng dan industri oleochemical.

Peningkatan penggunaan untuk bahan bakar nabati tidak sebanding dengan kenaikan produksi CPO. Dampaknya bisa meluas ke berbagai sektor, termasuk kenaikan harga minyak goreng yang memengaruhi inflasi dan daya beli masyarakat. 

BACA JUGA:Swasembada Pangan Dipercepat, Mentan Amran Prediksi Panen Raya Dimulai Awal Februari 2025

BACA JUGA:Upayakan Sritex Tetap Berproduksi, Menperin Lakukan Pendekatan dengan Kurator

Fabby juga mengingatkan bahwa kebijakan B40 membutuhkan subsidi yang besar. Subsidi ini diambil dari pajak ekspor minyak sawit, di mana 50 persen dari produksi CPO Indonesia diekspor. Namun, penggunaan CPO sebagai bahan bakar memiliki nilai tambah yang lebih rendah dibandingkan penggunaannya di sektor lain.

Selain itu, Fabby menekankan bahwa peningkatan produksi CPO untuk mendukung B40 tidak boleh dilakukan dengan membuka lahan baru. Langkah ini dapat merusak ekosistem, meningkatkan emisi karbon, dan memperburuk masalah lingkungan yang sudah ada. Pembukaan lahan bukan solusi ideal. Kita harus fokus pada kebijakan yang sejalan dengan transisi energi berkelanjutan.

Fabby menegaskan bahwa transisi energi sejati harus diarahkan pada pengurangan konsumsi BBM dan pengembangan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Menurutnya, kebijakan seperti B40 perlu dievaluasi dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan secara holistik. 

Jika tujuan kita adalah swasembada energi, pemerintah harus mengutamakan pengembangan energi terbarukan non-BBM, seperti tenaga surya, angin, atau geothermal. Ini adalah langkah strategis menuju masa depan energi yang berkelanjutan.

Kebijakan B40 memang memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan pada BBM impor. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada perencanaan yang matang, terutama dalam mengelola trade-off antara kebutuhan energi, ekonomi, dan kelestarian lingkungan.  (jpc)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan