Pengamat Sebut Metodologi OCCRP Atas Penilaian Jokowi Sebagai Pemimpin Terkorup Patut Dipertanyakan
Pengunjung melihat karya foto pada pameran dan peluncuran buku Legasi Jokowi 2014-2024 di Antara Heritage Center, Jakarta, Sabtu (12/10/2024)-Hanung Hambara-Jawa Pos
BELITONGEKSPRES.COM - Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mendapat tuduhan sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia, sebuah label yang dikeluarkan oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Bung Karno, Faisyal Chaniago, mengkritisi penilaian tersebut, menyatakan bahwa metodologi OCCRP patut dipertanyakan.
Faisyal menjelaskan bahwa metode yang digunakan OCCRP tampak tidak valid dan tidak didasarkan pada data hukum yang sah. "Berdasarkan informasi yang saya temukan, OCCRP menggunakan pendekatan polling melalui Google Form, yang jelas tidak ilmiah," ungkapnya dalam sebuah wawancara, Rabu 1 Januari.
Dia menekankan bahwa menggunakan platform seperti Google Form untuk melakukan polling adalah metode yang tidak memadai untuk mengevaluasi fenomena besar seperti korupsi, yang membutuhkan analisis mendalam dan data yang valid.
Faisyal juga mengkritik indikator-indikator yang ditetapkan oleh OCCRP dalam menilai pemimpin dunia, yang dinilai subjektif dan tidak berbasis pada bukti yang jelas.
BACA JUGA:Fraksi Demokrat Minta PPN 12 Persen Dipastikan Hanya untuk Barang Mewah dan Kelas Atas
BACA JUGA:Jokowi Masuk Nominasi Pemimpin Paling Korup? Ini Reaksi PDI Perjuangan
"OCCRP menciptakan indikator sendiri mengenai apa yang dianggap 'korupsi', yang berpotensi melahirkan konsep-konsep bias dan tidak akurat," tegas Faisyal. Menurutnya, jika indikator tersebut terus digunakan tanpa dasar ilmiah yang jelas, konsep ini dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan politis.
Dia memberikan contoh bahwa salah satu variabel yang digunakan OCCRP, yaitu "menjarah sumber daya alam", menunjukkan bias. "Jika variabel ini dijadikan acuan, banyak pemimpin negara industri yang seharusnya juga bisa dimasukkan ke dalam kategori pemimpin terkorup," ujarnya, menyoroti ketidakadilan dalam penilaian tersebut.
Lebih jauh, Faisyal menggarisbawahi bahwa banyak pelanggaran hak asasi manusia yang lebih besar terjadi di negara-negara lain, terutama yang melibatkan negara besar seperti Amerika Serikat. "Presiden yang paling banyak melanggar hak asasi manusia bukanlah Jokowi. Kita semua tahu siapa yang terlibat dalam konflik di Timur Tengah, seperti perang Irak," katanya.
Faisyal juga menduga bahwa laporan OCCRP ini dapat dimanfaatkan oleh politisi tertentu untuk menyerang citra Jokowi. "Berita dari OCCRP ini digunakan oleh politisi yang tidak menyukai Jokowi sebagai alat untuk mendiskreditkan beliau," pungkasnya. (jpc)