Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

ELTC, Strategi Mencetak Lapangan Kerja Lewat Insentif Pajak

Ilustrasi - Pembayaran pajak-Sigid Kurniawan-ANTARA

Korea Selatan juga menjadi contoh menarik dengan kebijakan Employment Promotion Tax Credit yang diperkenalkan pada 2010. Melalui skema ini, perusahaan yang mempekerjakan pemuda, perempuan, dan pekerja lanjut usia mendapat keringanan pajak korporasi dalam jumlah signifikan.

Studi dari Korea Institute of Public Finance menunjukkan bahwa kebijakan ini mampu meningkatkan tingkat partisipasi kerja pemuda sebesar 2–3% pada periode awal implementasi. Selain mendorong penciptaan lapangan kerja, program ini sekaligus mengurangi kesenjangan generasi dalam pasar tenaga kerja.

Di kawasan Asia Tenggara, Singapura menerapkan Jobs Support Scheme (JSS) saat pandemi Covid-19, yang secara prinsip mirip dengan ELTC. Pemerintah memberikan subsidi gaji dan keringanan pajak penghasilan kepada perusahaan yang tetap mempertahankan atau menambah pekerjanya.

Menurut laporan Kementerian Tenaga Kerja Singapura, JSS berhasil menyelamatkan lebih dari 165.000 pekerja pada 2020–2021 dan mencegah lonjakan pengangguran. Skema ini menunjukkan bahwa ketika insentif fiskal dikaitkan langsung dengan kesempatan kerja, pemerintah tidak hanya melindungi basis penerimaan pajak di masa depan, tetapi juga menjaga stabilitas sosial-ekonomi.

Potensi untuk Indonesia

Jika diterapkan di Indonesia, ELTC berpotensi menjadi game changer.

BACA JUGA:Menjaga MBG Tetap Hadir Melayani Siswa

Pertama, kebijakan ini bisa membantu menekan angka pengangguran terbuka, terutama di kalangan generasi muda yang mendominasi angkatan kerja. Kedua, sektor padat karya seperti tekstil, garmen, pariwisata, dan manufaktur ringan dapat terdorong untuk membuka lebih banyak lowongan kerja. Ketiga, meningkatnya jumlah tenaga kerja formal akan memperkuat daya beli rumah tangga, yang selama ini menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Melalui desain yang tepat, ELTC mampu menciptakan efek berantai bahwa pajak lebih berfungsi sosial, perusahaan mendapat insentif, tenaga kerja terserap, konsumsi meningkat, dan pertumbuhan ekonomi pun lebih berkualitas.

Meski begitu, implementasi ELTC tentu tidak bebas hambatan. Ada potensi moral hazard ketika perusahaan hanya mengejar insentif tanpa benar-benar menambah pekerja baru.

Selain itu, skema ini bisa saja lebih mudah diakses oleh perusahaan besar, sementara UMKM yang justru menyerap banyak tenaga kerja tidak memperoleh manfaat yang sama. Karena itu, desain kebijakan harus menekankan inklusivitas, akuntabilitas, dan transparansi.

BACA JUGA:TKA 2025: Masa Depan Pendidikan yang Tergesa-gesa?

Salah satu cara adalah dengan memperbesar insentif bagi perusahaan yang merekrut pekerja dari kelompok rentan: lulusan baru, perempuan kepala keluarga, hingga penyandang disabilitas. Selain itu, sistem digitalisasi perpajakan dapat digunakan untuk memverifikasi data perekrutan tenaga kerja secara real-time, sehingga insentif benar-benar diberikan berdasarkan fakta, bukan klaim semata.

Menuju kebijakan fiskal inklusif

Implementasi ELTC pada akhirnya membuka paradigma baru bahwa pajak bukan hanya instrumen untuk mengisi kas negara, melainkan juga sarana untuk menata arah pembangunan ekonomi dan sosial.

Dengan mengaitkan insentif fiskal pada penciptaan lapangan kerja, negara dapat memainkan peran aktif dalam menurunkan angka pengangguran terbuka yang pada Februari 2025 masih berada di level 7,28 juta orang (BPS, 2025). Strategi ini menegaskan bahwa pajak dapat dirancang sebagai katalis inklusi ekonomi, bukan sekadar beban administratif.

Di tengah kompetisi global yang makin ketat, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan pajak konvensional yang hanya menekankan kepastian penerimaan. Seperti ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara maju, mulai dari Amerika Serikat hingga Singapura, insentif pajak yang diarahkan dengan presisi mampu menstimulasi pasar tenaga kerja sekaligus menjaga daya saing industri.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan