Samboja Manfaatkan Energi Terbarukan dari Kotoran Sapi
Rosipul Akli, Ketua Kelompok Ternak Tirto Sari Samboja, mengangkut kotoran sapi untuk diolah menjadi biogas-Ahmad Rifandi-ANTARA
Kobaran api biru yang dinyalakan Rosipul menjilat alas teko aluminium nyaris tanpa menghasilkan jelaga.
Setelah air dalam teko mendidih, ia menuangkan ke empat buah cangkir sembari mengaduk kopi. Asap tipis mengepul, menyuguhkan aroma kopi hitam yang pekat, menyambut para tamu yang bertandang pagi itu.
"Silakan, mas, kopinya," ujar .Rosipul Akli, Ketua Kelompok Ternak Tirto Sari Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Ada sesuatu yang unik namun mengagumkan dari pemandangan pagi itu. Kompor yang digunakan Akli menyala stabil dengan api biru sempurna, persis seperti kompor dari sumber LPG.
Namun, tak ada tabung gas biru atau hijau melon di sekitarnya. Yang ada hanyalah selang kecil yang menjulur dari balik dinding papan, terhubung ke sebuah instalasi tak jauh dari kandang sapi komunal.
BACA JUGA:BAKN DPR: Danantara Gelontorkan Investasi Revitalisasi Pupuk Subsidi
Api itu, ternyata, bukan berasal dari fosil yang ditambang dari perut bumi. Ia lahir dari proses yang lebih organik: dari sisa pencernaan puluhan sapi yang dipelihara kelompoknya.
Itulah biogas, sebuah jawaban sederhana dari komunitas peternak di Kelurahan Wonotirto, Kecamatan Samboja, di tengah riuh isu krisis energi dan mahalnya harga LPG.
Bagi Akli dan rekan-rekannya, transisi energi terbarukan bukan wacana seminar atau tajuk berita di koran ibu kota. Ia adalah realitas sehari-hari kampung berasal kotoran sapi, berwujud api biru di dapur, dan berbuah pupuk subur untuk tanaman.
Berbagi energi
Cerita ini bermula jauh sebelum api biru itu menyala. Kelompok Ternak Tirto Sari berdiri pada 2014, sebuah ikhtiar kolektif para peternak lokal untuk saling menopang.
Seiring berjalannya waktu, satu masalah klasik muncul: kotoran sapi atau kohe (kotoran hewan).
BACA JUGA:Memahami Chilean Paradoks, Mengantisipasi Jebakan Pendapatan Menengah
Dengan populasi sapi yang terus bertambah--kini mencapai 42 ekor dan bakal ditambah 50 ekor lagi untuk penggemukan--limbah yang dihasilkan menjadi gunungan persoalan.
"Dulu ya hanya menumpuk saja guna menunggu jadi pupuk kering, sehingga jadi masalah bau dan lingkungan," kata Akli mengenang