BELITONGEKSPRES.COM - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berencana mengusulkan kepada Kementerian Kesehatan untuk memasukkan ketamin dalam golongan psikotropika. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tren penyalahgunaan ketamin yang mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menyatakan bahwa ketamin termasuk dalam kategori obat keras yang bekerja cepat untuk menciptakan efek anestesia dan analgesik yang kuat.
Menurut Taruna, efek ketamin dapat menghilangkan rasa sakit dan kesadaran, yang sering digunakan dalam prosedur bedah dan diagnostik. Namun, efek ketamin juga bisa menyebabkan dampak yang merugikan, seperti sedasi, euforia, relaksasi, dan amnesia, mirip dengan efek yang ditimbulkan narkotika. Ini memicu kekhawatiran karena penyalahgunaan ketamin dapat menyebabkan berbagai risiko kesehatan mental dan fisik.
Data yang dikumpulkan BPOM menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam distribusi ketamin injeksi ke fasilitas pelayanan kefarmasian. Pada tahun 2022, jumlahnya tercatat sebanyak 134 ribu vial, kemudian meningkat menjadi 235 ribu pada 2023. Bahkan pada kuartal ketiga tahun ini, jumlahnya sudah mencapai 440 ribu vial. Sementara itu, distribusi ketamin melalui apotek juga mengalami lonjakan. Data menunjukkan bahwa sebanyak tiga ribu vial disalurkan pada 2022, lalu melonjak menjadi 44 ribu vial pada 2023, dan hingga akhir 2024 diperkirakan akan mencapai 152 ribu vial.
BACA JUGA:Tips Sehat Menghadapi Musim Hujan dengan Konsumsi Minuman Herbal
BACA JUGA:Jangan Panaskan Ulang! Ini 3 Makanan Berisiko untuk Kesehatan Jika Dipanaskan Kembali
Taruna menjelaskan bahwa penyalahgunaan ketamin bisa berdampak serius pada kesehatan mental dan fisik pengguna. Beberapa risiko yang mungkin timbul adalah halusinasi, kerusakan sistem saraf dan hati, psikosis, adiksi, serta risiko serius seperti keinginan untuk bunuh diri.
Meski ketamin seharusnya hanya digunakan dengan resep dokter, kenyataannya, obat ini banyak disalahgunakan untuk keperluan rekreasional, seperti saat berada di klub malam atau digunakan dalam prosedur tato.
Berdasarkan data, Bali menjadi salah satu lokasi dengan tingkat penyalahgunaan ketamin tertinggi, diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Barat. Menariknya, mayoritas penyalahgunaan ini melibatkan anak-anak muda generasi Z. Hal ini menambah kekhawatiran tentang masa depan generasi yang berisiko hancur akibat penyalahgunaan zat ini.
Sebagai bagian dari upaya mengatasi masalah ini, BPOM berencana merevisi Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan. Ketamin akan dimasukkan ke dalam peraturan ini sebagai langkah tegas untuk membatasi penyalahgunaannya.
BACA JUGA:Harus Diketahui, ini 6 Dampak Negatif Kurang Tidur, Salah Satunya Penurunan Fungsi Otak!
BACA JUGA:Waspada Bahaya Minum Minuman Panas, Ini yang Perlu Kamu Tahu
Selain itu, BPOM akan melakukan pemanggilan terhadap pengelola apotek yang memberikan ketamin tanpa mengikuti prosedur yang sesuai untuk dimintai pertanggungjawaban.
BPOM juga akan memanggil para produsen dan distributor ketamin sebagai bagian dari upaya pengendalian penyalahgunaan. Taruna mengungkapkan bahwa pihaknya akan melakukan pendekatan melalui berbagai program komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat dengan dukungan anggaran yang signifikan untuk memastikan penyuluhan ini berjalan efektif.
Selain itu, BPOM berencana membangun kolaborasi dengan berbagai pihak terkait, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian, Kementerian Kesehatan, asosiasi dokter, dan asosiasi apoteker. Taruna menekankan bahwa kerja sama ini penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan melindungi generasi mendatang dari dampak negatif ketamin. (jpc)