BELITONGEKSPRES.COM - Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, menggugat status tersangka yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016. Melalui kuasa hukumnya, Thomas menilai keputusan tersebut sarat dengan penyalahgunaan wewenang dan melanggar prosedur hukum.
Pengacara Thomas, Amir Husni Mubarok, menegaskan bahwa proses penetapan tersangka kliennya tidak sah secara hukum. "Penetapan ini penuh kesewenang-wenangan, abuse of power dan tidak sesuai dengan hukum acara pidana. Tidak ada bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP," jelas Amir dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 18 November.
Pihak Thomas berargumen bahwa penetapan tersangka harus batal demi hukum karena tidak memenuhi persyaratan minimal dua alat bukti yang sah. "Ini menjadi dasar utama pengajuan praperadilan," tambah Amir.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan Thomas dan mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, berinisial CS, sebagai tersangka pada 29 Oktober 2024. Penyidik menyebut keduanya terlibat dalam pemberian izin impor gula kristal mentah yang diolah menjadi gula kristal putih, langkah yang dinilai melampaui kewenangan.
BACA JUGA:10 Hari di Luar Negeri, Presiden Prabowo Ungkap Kerinduan pada Tanah Air
BACA JUGA:BPK RI Dorong Komite Audit Terapkan Good Governance di PTN-BH
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, impor tersebut dilakukan tanpa mengikuti aturan yang menetapkan hanya BUMN tertentu yang berhak melakukan impor gula kristal putih untuk kebutuhan domestik.
"Thomas Lembong memberikan penugasan kepada perusahaan yang tidak sesuai ketentuan, dengan alasan stabilisasi harga gula yang saat itu melambung tinggi," ungkap Abdul.
Thomas dan CS kini ditahan selama 20 hari, masing-masing di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan cabang Kejaksaan Agung. Sementara itu, Thomas berupaya menggugat penetapan tersangka ini melalui jalur praperadilan, menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dan menuntut proses hukum yang adil.
Kasus ini mencuat sebagai sorotan terhadap tata kelola impor pangan di Indonesia, sekaligus mengundang diskusi tentang batas-batas kewenangan pejabat dalam menghadapi situasi krisis ekonomi. (jpc)