Jakarta (ANTARA) - Geopolitik global saat ini mengarah pada polarisasi dan instabilitas. Perubahan konfigurasi politik internasional terjadi dengan sangat cepat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi seakan tak mampu menganalisis dan memprediksi ke mana arah tatanan negara-negara di seluruh dunia ini. Bangsa-bangsa di seluruh dunia sedang dalam kondisi yang penuh risiko.
Tatanan internasional lama, yang terbentuk pascaperang dunia kedua sebentar lagi akan bertransisi dari bipolar menjadi uni-multipolar. Pada dasarnya tatanan politik internasional diciptakan dan sebagian besar dipimpin oleh Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang biasa disebut sebagai negara Barat.
Oleh karena itulah Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa berada di New York, Bank Dunia dan IMF berada di Washington. Tidak di Beijing atau Moskow.
BACA JUGA:Masa Depan Kurikulum Merdeka Pasca Pergantian Kabinet
Tapi tatanan ini, dalam dekade terakhir, ditantang oleh dua negara besar, China dan Rusia.
Pada awal serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 dengan jelas, Vladimir Putin menyatakan kegeramannya kepada aliansi militer NATO yang membangun pangkalan di “halaman belakang” Negeri Beruang Merah itu. Dalam beberapa kesempatan, Putin mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap kedigdayaan Amerika.
Argumentasi Putin ini sangat beralasan jika kita melihat bagaimana jejak AS sebagai Anggota Dewan Keamanan PBB seringkali menggunakan otoritasnya untuk “kepentingan nasional” mereka. Misalnya, saat sidang pemungutan suara Dewan Keamanan PBB untuk menerima Palestina sebagai negara anggota penuh PBB pada April 2024, AS menjadi satu-satunya negara yang menggunakan hak veto untuk menolak usulan tersebut, sehingga Palestina gagal menjadi negara anggota PBB.
Tercatat, AS telah melakukan veto terhadap 89 rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB sejak tahun 1945. Diantaranya digunakan 45 kali untuk rancangan resolusi yang mengkritik Israel.
BACA JUGA:Diplomasi untuk Kemanfaatan Ekonomi Indonesia Ala Joko Widodo
Sementara itu, China menantang kedigdayaan Barat melalui perdagangan. Inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan oleh China berhasil menarik lebih dari 140 negara untuk bergabung di dalamnya. Sejak diluncurkan pada 2013, dilaporkan investasi inisiatif BRI secara kumulatif telah menembus angka 1 triliun dolar AS pada 2023.
Pemerintah China sejak akhir 1970-an, secara perlahan tapi pasti menerapkan strategi penguatan ekonomi yang taktis. Diantaranya membuat perencanaan ekonomi terpusat yang agresif, memanfaatkan keunggulan tenaga kerja murah, mendevaluasi mata uang, dan mengembangkan sistem pabrik untuk menyebarkan produknya ke seluruh dunia.
Sikap terbuka China terhadap investasi asing telah mendorong produksi dalam negeri meningkat. Inisiasi pengembangan teknologi untuk berbagai sektor bertumbuh pesat. AS merasa kecolongan dengan cara China mengembangkan ekonominya. Lambat laun kekuatan perdagangan kedua di dunia dipegang oleh Negeri Tirai Bambu itu.
Puncaknya, terjadi defisit perdagangan AS dengan China sebesar 419,5 miliar dolar AS. AS mati-matian berupaya mempertahankan dominasi ekonominya dengan cara memberlakukan kenaikan tarif impor kepada China, pembatasan perdagangan teknologi semikonduktor dan Artificial Intelligence (AI/kecerdasan buatan). Sementara itu China membalasnya dengan dedolarisasi. Mengajak sejumlah negara meninggalkan dolar dan menggunakan Yuan.
BACA JUGA:Urgensi Program Makan Bergizi Gratis bagi Indonesia Emas 2045