Sangat minim sekali mencari literasi tertulis tentang instrumen ini. Sabi’in mengatakan tidak ada yang ingin meneruskan untuk memainkan instrumen ini. Jangankan itu, mencoba untuk belajar saja tidak ada. Perihal ini didukung pula dengan tidak adanya pembuat Serunai. Bahkan sering kesenian Beripat Beregong ditampilkam tidak menggunakan Serunai. Bisa dikatakan Serunai akan mati dalam keheningan. Suaranya tidak akan menggaung dari kampung ke kampung lagi.
BACA JUGA:Menyingkap Problematika Insan Muda di Film
BACA JUGA:Pesta Demokrasi untuk Masa Depan Ekonomi yang Lebih Baik
Pada tahun 2022, Sabi’in mengalami sakit. Cukup lama pula Serunai tidak dibunyikan. Sebenarnya banyak kelompok kesenian Beripat Beregong, namun hanya Sabi’in yang memainkan Serunai. Sehingga jika diperlukan, Sabi’in akan dipanggil untuk bermain Serunai dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
Hidup dikampung memang begitu. Tidak seperti di kota, mungkin musisi dengan mudah mencari pasarnya baik itu musisi modern atau tradisional. Tapi banyak juga musisi yang terjerembab sendiri saat mencoba memasuki hiruk pikuk kota. Ada juga yang dengan mulus sampai ke puncak. Aduh, jangan sampai ada bantuan ordal (orang dalam), bisa gawat.
Berbicara mengenai kehidupan musisi atau seniman, memang tidak ada habisnya di tanah air. Banyak juga fenomena saling silang sengkarut. Musisi modern mencoba belajar tradisional maupun sebaliknya. Tanpa dengan dasar yang mungkin bisa dibilang khatam, tanpa sadar pula ada nilai yang hilang ditambah pula dengan tidak adanya rasa tanggung jawab penuh atas apa yang telah diperbuat.
Nilai-nilai absurd yang tertuang kini dengan sebelah mata banyak berkeliaran. Juga, apa kabar dengan peran etnomusikolog? Yang sebenarnya mereka dibekali ilmu untuk terjun meneroka semak belukar di lapangan. Setidaknya mencoba berniat untuk menyelamatkan literasi yang kian hari kian terkubur. Namun apa boleh buat, jalur yang dipilih bukan itu, melainkan menjadi musisi atau komposer. Tapi di kampus memang juga dibelaki seperti itu, disuruh main musik, menganalisis musik. belajar audio bahkan video. Tawaran-tawaran itu memang banyak, harapannya agar para lulusan nantinya mudah mencari kerja dan yang terpenting bekal untuk meneliti dilapangan nanti. Banyak kemampuan namun di sisi lain hal itu adalah jebakan.
Etnomusikolog memang sebegitu populer di Indonesia, sehingga keberadaannya dibilang masih minim sekali. Untuk jenjang pertama memang cukup sulit, karena dalam satu ilmu mempelajari dua etika, musik dan sosialnya. Sehingga sebenarnya ilmu ini untuk jenjang tingkat lanjut (magister).
Jangan sampai arsip-arsip musik tradisional keduluan ditulis atau diteliti dari orang luar. Karena mungkin kelak apa yang disebut dengan Serunai itu adanya di negara luar bukan di tanahnya sendiri. Dan juga mungkin nantinya akan saling menyalahkan, karena kemungkinan ada nilai yang hilang. Coba pikirkan 10 tahun kedepan akan dan seperti apa tanah kita juga pemikiran masyarakatnya.(*)
*) Reno Izhar, Sang Pengendali Angin dari Belitong