Meringkik di Atas Karang

Reno Izhar--

Ketika mendengar kata “karang”, apa yang pertama kali muncul dipikiran Anda? Mungkin laut, ikan, keras, tajam, batu dan air yang biru. Namun siapa sangka pada keberadaan karang yang luas terdapat sebuah seni yang sangat menakjubkan, salah satunya Balumpa.

Pulau Binongko, pulau terujung dari nama akronim empat pulau Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko) menjadi tempat keberadaan kesenian Balumpa. Binongko juga dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi. Penyebutan Kepulauan Tukang Besi berasal dari sebuah kampung Sowa Togo, dimana hampir semua mayoritas masyarakatnya merupakan pemandai besi berupa parang dan pisau.

Balumpa merupakah sebuah seni pertunjukan berupa tari dan musik. Uniknya kesenian ini sekilas mirip dengan kesenian Zapin Melayu. Balumpa ditarikan oleh perempuan yang berjumlah sekitar enam sampai delapan orang dan diiringi dengan musik, dimana instrumennya berupa Gambusu (gambus), Tiki-tiki, Vokal dan Ganda (gendang). Sebelum jauh mengulas tentang musik Balumpa, penulis akan mencoba bercerita tentang sejarah Balumpa menurut beberapa narasumber yang penulis temui di lapangan.

Jaudin Hamid merupakan pembina budaya dan sejarah di pulau Binongko, selain itu beliau juga seorang penabuh ganda Balumpa. Jaudin mendapatkan informasi sejarah Balumpa  dari La Ode Manehanta yang merupakan seorang tokoh budaya di Pulau Binongko. Beliau mengatakan bahwa tari Balumpa diciptakan oleh Kapitan Waloindi yang hidup diperkirakan sekitar tahun 1500 – 1600an masehi.

BACA JUGA:Aksi Melek Perubahan Iklim Fisika Kuat dan Siswa Peduli

BACA JUGA:Pilpres AS: Menunggu 'Rematch' Biden vs Trump

Tari Balumpa ditujukan untuk menghibur para punggawa kerajaan saat pulang dari peperangan atau tugas. Kemudian tari Balumpa terus berkembang dan selalu ditampilkan saat para tamu datang ke kerajaan Waloindi. Namun semenjak pengaruh penjajahan tari Balumpa sudah tidak pernah ditampilkan kembali.

Pada tahun 1950an, La Ode Manehanta beserta La Ode Itta, Wa Ode Tani Gowa dan Wa Tampe mencoba memperkenalkan dan mengembangkan kembali tari Balumpa. Dalam segi gerakan, ada tiga jenis gerakan dasar Balumpa. Yang pertama adalah gerakan dasar yang disebut dengan Gaya Pata-pata, yang kedua merupakan gerakan inti yang disebut dengan Gaya Kayoa (berputar dan menjinjit) dan gerakan ketiga yang merupakan gerakan variasi tarian yang disebut Gaya Toro Uda (maju mundur). Balumpa diartikan sebagai kuda yang melompat sambil meringkik. Namun Jaudin mengatakan bahwa tari Balumpa bisa di interpretasikan seperti gelombang.

Musik Balumpa berbirama 4/4 dan selalu identik dengan instrumen gambusu yang berfungsi sebagai pembawa melodi dan dua pasang ganda pembawa irama atau ritme. Beruntungnya penulis sempat bertemu dengan Rudi yang merupakan salah satu generasi muda pemetik gambusu Balumpa. Penulis sempat mencatat tuning gambusu yang dimainkan oleh Rudi. Senar pertama C# 280Hz (dobel senar), senar ke-2 G# 209 Hz (dobel senar), senar ke-3 E 161 Hz (dobel senar) dan senar ke-4 C# 141 Hz (senar tunggal).

Lalu Instrumen ganda dalam tari Balumpa sekilas hampir mirip seperti gendang Ciblon Gamelan Jawa maupun gendang silat Melayu. Ganda mempunyai dua sisi membran kulit yang diikat menggunakan senar nilon seperti Gandrang Makassar dan Gimel Suku Sawang Belitong. Ganda mempunyai dua jenis pola tabuhan yang masing-masing tabuhan dimainkan oleh dua instrumen Ganda. Ganda pertama (dasar) memainkan pola tabuhan Bhoati dan Ganda ke-2 (variasi) memainkan pola tabuhan Palari. Sehingga jika dimainkan bersama akan menghasilkan pola tabuhan yang saling imbal/ mengisi (interlocking).

BACA JUGA:Sederet Peristiwa Menonjol 2023 di Mahkamah Konstitusi

BACA JUGA:Menerima Mahasiswa Internasional di Bangka: Peluang dan Tantangannya

Selain kehadiran gambusu dan ganda dalam tari Balumpa juga hadir sebuah instrumen yang unik bernama Tiki-tiki. Dulunya instrumen ini terbuat dari botol minuman dan ditabuh menggunakan sendok yang fungsinya sebagai penjaga tempo. Namun karena dikatakan botol tersebut rawan pecah kemudian diganti menggunakan besi yang terbuat dari sepul speaker dan tabuhnya menggunakan bekas kunci ring. Fenomena ini mengingatkan penulis terhadap salah satu penelitian dan pengarsipan dari ‘’akal-akalan warga’’ yang dipamerkan dalam Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 di Galeri Nasional Jakarta tempo hari.

Juga tak lepas pula kehadiran vokal yang isinya adalah sebuah pantun nasihat maupun pergaulan. Pantun tersebut menggunakan bahasa daerah Binongko yang dinyanyikan oleh satu sampai dua orang secara bergantian. Secara umum, syair pantun dalam masyarakat Wakatobi disebut Bhanti-bhanti atau Kabhanti. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan