BELITONGEKSPRES.COM - Penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia, yang mencapai hampir 9,5 juta orang dalam lima tahun terakhir, telah menarik perhatian internasional.
Media asing menyoroti fenomena ini sebagai tanda peringatan bagi ekonomi Indonesia, terutama karena penurunan ini terjadi di tengah upaya pemerintah yang berfokus pada stabilisasi kelas menengah agar tidak jatuh ke dalam kategori rentan.
Para analis menggarisbawahi pentingnya strategi pemerintah untuk memperkuat kelas menengah, yang dipandang sebagai tulang punggung ekonomi negara.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang yang tergolong kelas menengah turun dari 57,33 juta pada 2019 menjadi 48,27 juta pada 2023, dan lebih lanjut menjadi 47,85 juta pada 2024. Tren ini menunjukkan penurunan yang konsisten dalam lima tahun terakhir.
BACA JUGA:KemenKop UKM Ungkap 95 Persen UMKM Masih Belum Kompetitif, Menteri Teten Ungkap Penyebabnya
BACA JUGA:Anggaran 2025 Lebih Sedikit, Menteri BUMN Minta Tambah
Meskipun demikian, penurunan ini diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang berada di ambang masuk ke kelas menengah, dari 128,85 juta pada 2019 menjadi 137,5 juta pada tahun ini.
Ini menandakan adanya pergeseran demografis di mana lebih banyak orang berada dalam kategori yang hampir mencapai kelas menengah, namun belum cukup stabil untuk masuk ke kategori tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menekankan pentingnya kelas menengah sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Ia juga menyoroti berbagai inisiatif pemerintah untuk mendukung kelas menengah dan meningkatkan daya beli masyarakat, termasuk melalui program perlindungan sosial, insentif pajak, program Prakerja, dan skema Kredit Usaha Rakyat.
BACA JUGA:Mendobrak Batas Kontinental: HLF-MSP 2024 Bali Jadi Momentum Transformasi Indonesia-Afrika
BACA JUGA:PTK Sabet 3 Penghargaan di GRC & Performance Excellence Award 2024
Salah satu kebijakan yang disorot adalah rencana pengembalian insentif pajak penuh untuk pembelian properti senilai hingga Rp 5 miliar pada paruh kedua tahun 2024.
Namun, para analis berpendapat bahwa penurunan kelas menengah tidak hanya disebabkan oleh dampak lanjutan dari Covid-19, tetapi juga oleh kelemahan fundamental ekonomi nasional dan kebijakan yang kurang mendukung.
Bhima Yudhistria dari Celios menyebutkan bahwa lemahnya kinerja sektor manufaktur, yang menyebabkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berkurangnya kontribusi terhadap produk domestik bruto, turut berkontribusi pada penyusutan kelas menengah.