BELITONGEKSPRES.COM - Konflik agraria di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) masih menjadi isu yang tak kunjung usai, melibatkan masyarakat, pemegang izin usaha, dan pemerintah. Ketimpangan dalam pemanfaatan dan kepemilikan tanah kerap kali menjadi pemicu konflik ini.
Ketua DPRD Babel Herman Suhadi, menyampaikan pandangannya mengenai masalah ini saat berkunjung ke Direktorat Penataan Ruang Kementerian ATR/BPN bersama Pansus Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) di Jakarta, Kamis, 18 Juli 2024.
Menurut Herman Suhadi, konflik agraria ini menjadi salah satu isu penting yang perlu segera diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Babel, terutama karena DPRD sedang menyusun Ranperda RTRWP.
"Beberapa hari lalu, masyarakat di Bangka Barat dan Belitung menyampaikan aspirasi mereka mengenai penguasaan lahan oleh perusahaan HTI yang belum dikelola dengan maksimal. Mereka menginginkan agar lahan tersebut dikembalikan kepada masyarakat," ungkap Herman Suhadi.
BACA JUGA:Korupsi KUR Bank Sumsel Babel Rp 20 Miliar, 6 Tersangka Ditahan Kejati
BACA JUGA:Kasus Pencurian di Bangka, Residivis Tak Jera 3 Kali Masuk Penjara
Politisi PDI Perjuangan Babel itu menambahkan bahwa permintaan masyarakat ini harus segera direspons agar konflik agraria ini tidak menjadi masalah yang diwariskan kepada pemerintahan berikutnya.
Ketua Pansus RTRWP Firmansyah Levi, sependapat dengan Herman. Ia menegaskan bahwa baik pemerintah pusat maupun daerah harus segera menyelesaikan polemik konflik agraria ini untuk menghindari masalah yang lebih kompleks di masa mendatang.
"Kami di Pansus RTRWP harus memastikan bahwa konflik agraria terselesaikan, terutama terkait tumpang tindih izin usaha, wilayah pemukiman dan perkantoran yang masuk dalam kawasan, serta buffer jalan antara IUP dan pemukiman. Dengan begitu, perda RTRWP nantinya bisa menjadi lebih bersih dan jelas," tukas Firmansyah Levi.
Di sisi lain, Dirjen Penataan Agraria Kementrian ATR/BPN RI, Dalu Agung Darmawan, menegaskan bahwa sertifikat hak atas tanah adalah bukti kepemilikan yang sah yang memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah.
BACA JUGA:Masyarakat Babel Ingin Segera Menambang Timah Secara Legal, BPJ: Soal IPR Tunggu!
BACA JUGA:Tantangan Industri Tambang Timah, Kementerian ESDM Ragu Terbitkan RKAB?
Kementrian ATR/BPN menargetkan melegalisasi 120 juta bidang tanah dari total 126 juta bidang tanah pada tahun 2024. Terkait wilayah pemukiman yang masuk dalam kawasan hutan, pemerintah daerah perlu segera memetakan zona-zona tersebut untuk dimasukkan ke dalam rencana tata ruang dan diajukan kepada kementrian terkait, yaitu KLHK.
"Dengan demikian, wilayah tersebut bisa dinyatakan clean and clear, dan proses penerbitan sertifikat hak atas tanah bisa dilakukan," ujar Dalu Agung Darmawan.
Dalu juga menjelaskan bahwa tumpang tindih izin adalah hal yang wajar terjadi, di mana dalam sebuah areal atau zona bisa terdapat dua perizinan yang berbeda, seperti izin perkebunan dan izin pertambangan.