Namun, perubahan dalam kepemimpinan daerah menambahkan kompleksitas dalam proses ini. Bergantinya penjabat Gubernur tanpa penyelesaian dokumen yang dijanjikan meninggalkan banyak spekulasi dan ketidakpastian di kalangan masyarakat. Harapan akan adanya penggratisan pembuatan izin usaha tambang menjadi lebih samar, meninggalkan masyarakat dengan sekadar andai-andai.
Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah daerah untuk tetap fokus dan konsisten dalam menyelesaikan dokumen-dokumen tersebut, serta melanjutkan upaya untuk meningkatkan transparansi, partisipasi masyarakat, dan keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini bukan hanya untuk kepentingan saat ini, tetapi juga untuk mewariskan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
WPR dari Joko Widodo?
WPR yang pernah diusung oleh Presiden RI Joko Widodo beberapa tahun lalu kembali mencuat dalam perbincangan publik. Meskipun telah berlalu beberapa tahun sejak wacana tersebut pertama kali diajukan, namun belum ada langkah konkret yang diambil untuk melaksanakannya. Mari kita telaah kembali perjalanan WPR ini sejak awal hingga saat ini.
BACA JUGA:Kejati Babel Geledah Rumah Orang Tua Cukong Timah, Dua Kendaraan Diamankan
WPR pertama kali muncul pada tahun 2015, ketika Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Saat itu, Gubernur Babel Rustam Effendi turut serta dalam beberapa rapat di Istana Merdeka untuk membahas isu WPR. Meskipun dibahas secara intensif, namun hingga kini rencana tersebut masih belum terealisasi.
Berbagai pertanyaan pun muncul dari masyarakat, terutama dari warga Babel yang merasa prihatin dengan kondisi ekonomi di daerah mereka. Mengapa WPR yang digagas oleh Presiden Joko Widodo tersebut belum juga direalisasikan? Apakah ada hambatan-hambatan tertentu yang menghalangi prosesnya?
Salah satu isu yang mungkin menjadi penyebab belum terlaksananya WPR adalah fokus pemerintah pada masalah lain yang dianggap lebih mendesak. Misalnya, ketika Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI mengusulkan kembali menjadikan timah sebagai komoditas strategis negara, perhatian masyarakat Babel terhadap WPR menjadi berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi dalam mengimplementasikan WPR.
Meskipun begitu, penting bagi kita untuk tidak melupakan WPR dan terus mengingatkan pemerintah akan pentingnya pemulihan ekonomi nasional, termasuk di daerah-daerah terpencil seperti Babel. Semoga ke depannya, langkah-langkah konkret dapat diambil untuk mewujudkan WPR demi kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Timah dan Rakyat
BACA JUGA:Dua Tersangka Curat di Bangka Ditangkap Polisi
Satu hal yang perlu menjadi catatan adalah, meskipun statusnya tidak lagi sebagai komoditas strategis, timah tetap menjadi penopang utama ekonomi masyarakat Bangka Belitung. Sejak bukan lagi komoditas strategis, timah justru memberikan kontribusi lebih dari 50% terhadap ekonomi lokal. Dengan demikian, timah masih menjadi "panglima" ekonomi Bangka Belitung hingga saat ini.
Apakah timah harus kembali menjadi komoditas strategis seperti yang pernah diusulkan oleh Lemhanas? Pertanyaan ini muncul, namun perlu dicatat bahwa sebelum tahun 1998, ketika timah masih menjadi komoditas strategis negara, rakyat Bangka Belitung tidak memiliki akses yang sama terhadap kekayaan alam mereka. Kontrol yang kuat dari pemerintah pada saat itu menyebabkan rakyat tidak dapat menikmati hasil dari timah yang ada di sekitar mereka. Bahkan, warga Bangka Belitung dilarang untuk menambang, menjual, atau bahkan menyimpan timah, bahkan dalam jumlah kecil.
Namun, sekarang ini, fakta berbicara lain. Meskipun timah bukan lagi komoditas strategis, masyarakat masih menghadapi kendala dalam menambang secara legal dan merasakan manfaat secara maksimal dari kekayaan alam mereka. Kontrol yang pernah kuat terhadap timah telah berubah, namun proses legalitas dan distribusi tetap menjadi hambatan bagi masyarakat setempat.
Peran timah dalam ekonomi dan kehidupan masyarakat Bangka Belitung sangat penting. Meskipun telah kehilangan statusnya sebagai komoditas strategis, timah tetap menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Namun, ada tantangan baru yang harus dihadapi, terutama terkait dengan legalitas dan akses masyarakat terhadap sumber daya alam mereka sendiri. Penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan bahwa masyarakat Bangka Belitung dapat merasakan manfaat penuh dari kekayaan alam mereka tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.
BACA JUGA:Dukung Koperasi dan UKM, Babel Siapkan Program Pendidikan dan Pelatihan