Kelima tradisi tersebut, menurut Hadi Santoso, mengandung nilai-nilai, etika dan moral, serta norma-norma yang berupa anjuran, larangan, dan sanksi sebagai pedoman sikap dan perilaku masyarakat dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan.
Dilindungi konstitusi
Memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan merupakan keniscayaan, apalagi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dalam undang-undang. (Vide Pasal 18B Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945)
BACA JUGA:Makan Gratis tanpa Berpikir Kritis
BACA JUGA:Melestarikan Bahasa Ibu sebagai warisan budaya
Karena dilindungi konstitusi, kelestarian alam perlu diperkuat aturan turunnya, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah, bahkan hingga peraturan desa. Hal ini agar tradisi-tradisi untuk menjaga alam dan lingkungan sekitar ini tetap hidup sampai generasi mendatang.
Sebenarnya salah satu konsiderans Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa materi hukum pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara pelindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.
Hukum yang hidup dalam masyarakat juga termaktub dalam KUHP baru itu (vide Pasal 2). Substansinya seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketentuan ini berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam KUHP dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Dijelaskan pula yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat" adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
BACA JUGA:Asa masyarakat untuk Ibu Kota Nusantara
BACA JUGA:Mereguk Manisnya Nira Sambil Menjaga Gunung Palung
Dalam KUHP produk anak bangsa ini juga menjelaskan frasa "berlaku dalam tempat hukum itu hidup", yakni berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut. Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh KUHP.
Meski peran hukum adat di KUHP baru sangat kecil, pakar hukum adat Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.H. berpandangan bahwa KUHP memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal, sekaligus mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat.
Teritorial wilayah Indonesia yang begitu luas dengan keanekaan adat istiadat dan masyarakat adat yang masih patuh untuk penegakan hukum adat sesuai dengan kearifan lokal masing-masing, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Guru Besar Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ini, akan sangat mempermudah penegakan hukum di Indonesia. (*)
*) Oleh: D.Dj. Kliwantoro