Konstitusi Melindungi Kearifan Lokal Demi Anak Cucu Kita
Foto dari udara terkait dengan kondisi area terdampak bencana tanah bergerak di Desa Kalitlaga, Kecamatan Pagentan, Kabupaten Banjarnegara. ANTARA/HO-BPBD Banjarnegara--
SEMARANG - Menjaga kearifan lokal di setiap daerah menunjukkan kepedulian anak bangsa akan kelestarian lingkungan agar anak cucu kita, kelak tetap menikmati kondisi alam yang asri dan sehat.
Jangan sampai kerusakan lingkungan hidup akibat ulah pemburu nafsu duniawi membuat kehidupan anak cucu kita, kelak terusik rasa aman. Ancaman bencana, seperti banjir dan tanah longsor akan mengintai setiap saat, jika semua pihak tidak melakukan antisipasi sejak dini.
Nenek moyang kita telah mengajarkan kepada generasi sekarang untuk mencegah kerusakan alam melalui pelbagai tradisi atau adat kebiasaan turun-temurun yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat.
Tradisi Bebersih Sungai Silekor atau acara bersih-bersih sungai di Purworejo, Jawa Tengah, terutama menjelang musim hujan, misalnya. Selain membersihkan sungai, warga sekitar juga memanen ikan.
BACA JUGA:Tekan stunting, Pemprov Babel Gencarkan 'B2SA Go to School'
Tradisi Rasulan di Desa Ngeposari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat di desa itu melakukan bersih-bersih desa dan pawai dengan membawa hasil bumi.
Di luar Pulau Jawa juga terdapat tradisi adat tersendiri untuk menjaga konservasi air bernama Mantari Bondar. Kegiatan ini merupakan tradisi dari para leluhur masyarakat di sekitar hutan Batang Toru, Sumatera Utara, untuk menjaga hutan sekaligus memastikan tidak ada kerusakan pada mata air, sehingga aliran arus air lancar.
Adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih hidup di tengah masyarakat Tidore, Maluku Utara, hingga kini adalah tradisi Paca Goya. Tradisi ini bertujuan untuk menjaga alam dengan cara bersih-bersih bukit atau gunung dan tempat keramat di sana.
Warga setempat diimbau untuk tidak beraktivitas selama 3 hari. Bagi warga yang merusak alam atau menebang pohon sembarangan, mereka akan terkena bobeto.
Bobeto, sebagaimana diterangkan dalam buku Bumi di Dalam Diri: Tempo Doeloe, Kini, dan Masa Depan karya H. Hadi Santoso, S.T., M.Si., merupakan sumpah adat yang berbunyi, "Nage dahe so jira alam, ge domaha alam yang golaha so jira se ngon". Kalimat tersebut mempunyai arti siapa yang merusak alam, nanti akan dirusak oleh alam.
BACA JUGA:Babel Luncurkan Gerakan Eliminasi Kemiskinan & stunting
Tradisi pemulihan sumber daya alam di tengah-tengah masyarakat Maluku dan Papua juga perlu dilestarikan. Tradisi bernama Sasi ini merupakan satu larangan pemanfaatan hasil laut dan sungai dalam jangka waktu tertentu.
Aturan sasi sendiri, sebenarnya ada lima macam, yaitu sasi umum, sasi sungai, sasi laut, sasi hutan, dan sasi binatang. Adapun pemimpin dari adat ini yang biasa disebut kewang mempunyai peran untuk mengawasi dan memberikan sanksi, seperti denda atau bahkan cambuk.
Kelima tradisi tersebut, menurut Hadi Santoso, mengandung nilai-nilai, etika dan moral, serta norma-norma yang berupa anjuran, larangan, dan sanksi sebagai pedoman sikap dan perilaku masyarakat dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan.