Padahal para sukarelawan tersebut tidak seperti pengungsi yang dilengkapi dengan kasur busa dan selimut serta tenda yang tertutup rapat sehingga tidak merasakan udara dingin pada malam hari. Para sukarelawan tidur di tenda tempat untuk menyimpan aneka logistik untuk memasak dan material pembungkus makanan ketika matang.
Kalaupun bosan tidur di tempat tersebut, ia terpaksa pindah ke tempat ibadah yang jaraknya sekitar 300 meteran dari tenda dapur umum tersebut.
Etos kerja tinggi juga ditunjukkan Maftukin yang dipercaya sebagai koordinator lapangan dapur umum Jembatan Tanggulangin. Selain bertugas sebagai juru masak, ia juga mengomando segala hal yang perlu dipersiapkan agar setiap harinya bisa menyiapkan 3.000 bungkus nasi untuk dibagikan kepada pengungsi pada pagi, siang, dan sore hari.
Panas Matahari dan panasnya api kompor menjadi "makanan" sehari-harinya. Bahkan, terkadang juga harus merasakan dingin karena hujan tetap harus menyiapkan makanan untuk pengungsi maupun para sukarelawan.
Untuk mempercepat penyediaan makanan setiap hari, sekitar 30-an sukarelawan khusus dikerahkan bertugas di dapur umum. Belum termasuk sukarelawan yang bertugas di dapur umum Terminal Induk Jati Kudus.
Karena warga Demak yang mengungsi di Kabupaten Kudus mencapai 4.000-an jiwa, dua dapur umum itulah yang bertugas mencukupi kebutuhan makan sehari-hari para pengungsi.
Meskipun harus meninggalkan istri dan anak, Maftukin yang merupakan anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) itu, tetap ceria menyiapkan makan untuk para pengungsi. Bahkan, ia siap bertugas hingga banjir di Kecamatan Karanganyar benar-benar surut
Bagi dia, menjadi sukarelawan merupakan panggilan kemanusiaan yang membanggakan karena bisa membantu sesama tanpa menuntut imbalan apa pun.(*)
*) Oleh: Akhmad Nazaruddin