Peristiwa ini menyadarkan dunia akan pentingnya sistem peringatan dini sehingga masyarakat bisa bersiap menyelamatkan diri, dan mendorong Indonesia untuk juga memulai langkah-langkah besar mengembangkan teknologi mitigasi bencana itu.
Indonesia pun terus berbenah menyempurnakan sistem tersebut dengan disokong oleh sejumlah negara sahabat, di antaranya seperti Jepang, Jerman, dan Prancis. Butuh empat tahun bagi Indonesia untuk memiliki sistem peringatan dini berbasis teknologi sensor ini. Hingga akhirnya Indonesia Early Warning System (Ina-TEWS) resmi dioperasikan pada 2008.
Dari hanya ada satu sensor yang diandalkan kala itu, saat ini Indonesia sudah memiliki 600 unit sensor seismik, 240 unit alat tide gaude dan 36 unit Automatic Weather Station (AWS). Alat ini dipasang di sejumlah kawasan khususnya yang rawan gempa dan tsunami.
BACA JUGA:Desa Lalang, Pusat Denyut Budaya di Belitung Timur!
Ina-TEWS yang berbasis sensor seismik-tide guide ini menjadi tulang punggung satu-satunya upaya mitigasi gempa-tsunami kita sampai dengan sekarang. Kantor pusat monitoringnya berada dalam komplek perkantoran BMKG di Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta.
Sistem tersebut memungkinkan adanya peringatan dini potensi tsunami dalam waktu cukup cepat. Catatan waktu domestik terbaiknya adalah kurang dari tiga menit setelah gempa terjadi. Dewasa ini pendistribusian informasi peringatan dini bahaya bencana dapat dilakukan secara realtime memanfatkan gelombang internet, pemancar siaran televisi, dan radio yang dikelola Kementerian Telekomunikasi dan Digital (Komdigi). Kecepatan waktu penyampaian informasi ini dinilai cukup untuk memberikan kesempatan berharga bagi masyarakat melakukan evakuasi.
Indonesia sempat memiliki sebuah alat pendeteksi yang canggih dapat membantu memberikan informasi menjadi lebih akurat, dan lebih cepat bila terjadi gempa -tsunami, yakni Ina-Buoy. Jepang menjadi salah satu negara yang memanfaatkan kecanggihan perangkat tersebut dalam meminimalisir ancaman bahaya tsunami.
Sedikitnya ada sembilan unit Ina-Buoy dipasang di lautan dekat Bengkulu, laut dekat anak Gunung Krakatau, Selat Sunda, laut selatan Pangandaran, selatan Jawa Timur, laut selatan Bali, dan laut selatan Waingapu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur pada medio 2019- 2020. Di dalam Buoy itu terdapat sensor yang diletakkan di bawah laut pada kedalaman lebih dari 600 meter.
BACA JUGA:Real Madrid Menang 4-2 Lawan Sevilla, Geser Barcelona dari Peringkat 2 Kalasemen
Tetapi karena kekurangan anggaran untuk pemeliharaan, dan menjadi korban vandalisme, hingga belakangan juga dikatakan perangkat ini kurang efektif menjalankan fungsinya, sehingga harus diteliti ulang. Teknologi buatan dalam negeri bernilai miliaran rupiah per unit yang dikembangkan periset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atau sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Perangkat ini resmi berhenti beroperasi pada awal 2023. Jauh sebelumnya ada beberapa unit Buoy bantuan luar negeri yang dipasang di perairan Indonesia, tapi juga sudah tidak beropreasi lagi karena rusak.
Dalam simposium tsunami internasional yang melibatkan para ahli seismologis dunia di Provinsi Aceh, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati juga mengungkapkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan alat sensor bawah laut yang tak hanya bisa mendeteksi potensi tsunami akibat aktivitas seismik (gempa), tetapi juga ampuh untuk aktivitas non-seismik dari gunung api di laut dengan tingkat akurasi tinggi, seperti Buoy atau sejenisnya.
Dwikorita mengakui bahwa meski memiliki kecepatan tetapi kemampuan ratusan unit sensor yang dimiliki Indonesia saat ini masih terbatas untuk mendeteksi tsunami yang dipicu akibat aktivitas seismik, dan belum cukup akurat mendeteksi yang non-seismik.
Peristiwa erupsi Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018 menjadi pengingat nyata akan potensi bahaya tsunami yang dipicu oleh aktivitas non-seismik ini. Kala itu, tanpa peringatan dini, tsunami setinggi lima meter menghantam pesisir Provinsi Banten dan Lampung hingga menewaskan lebih dari 400 orang.
BACA JUGA:Kasus Judi 'Online' yang Pernah Menyeret Para Pesohor
Pada tahun 2010 atau sekitar delapan tahun sebelumnya, juga terjadi gempa di Mentawai, Sumatera Barat yang berkekuatan 7,8 magnitudo dan memicu tsunami dengan gelombang setinggi 3-10 meter. Peristiwa tersebut patut mendapat perhatian serius, apalagi setelah diketahui adanya zona megathrust di Mentawai-Siberut yang dapat berpotensi menimbulkan gempa yang jauh lebih besar hingga lebih dari 8,9 magnitudo.
Terlepas dari hal itu, masyarakat juga perlu dipersiapkan karena teknologi secanggih apa pun tidak akan efektif tanpa kesadaran dan partisipasi akar rumput, khususnya mereka yang berhadapan langsung dengan potensi bahaya. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menekankan bahwa pembentukan komunitas masyarakat tangguh bencana ini adalah langkah krusial.