BNPB memetakan ada sebanyak 53.000 lebih desa di Indonesia yang berada dalam kawasan rawan bencana. Sebanyak 45.97 desa berada di kawasan rawan gempa bumi dan 5.744 desa berada dalam kawasan rawan tsunami. Jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan tersebut diestimasi sebanyak 51 juta keluarga.
Dari jumlah total desa rawan bencana tersebut teridentifikasi ada sebanyak 5.744 desa rawan tsunami dan 45.973 desa rawan gempa bumi, 2.160 desa rawan erupsi gunung api. Desa tersebut tersebar mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa barat tengah bagian selatan, Jawa Timur bagian selatan, Kalimantan Selatan bagian timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah-Palu, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Papua.
BACA JUGA:Estafet Kepemimpinan Jokowi-Prabowo Menuju Indonesia Maju-sejahtera
Dengan sekitar 53.000 desa berada di kawasan rawan bencana, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyebarkan edukasi dan membangun kesiapan masyarakat. Pasalnya, data terbaru hingga saat ini, baru ada 36.000-an desa yang terverifikasi tangguh bencana, angka yang masih jauh dari cukup untuk mengamankan seluruh wilayah rawan. Minimnya anggaran untuk menggencarkan edukasi kebencanaan sehingga belum semua desa rawan bencana dapat dipersiapkan secara maksimal.
Desa tangguh bencana (Destana) menjadi program andalan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Di dalamnya terdapat serangkaian pelatihan manajemen risiko, evakuasi mandiri, penyediaan sarana dan prasarana kegawatdaruratan, hingga pembuatan jalur yang lengkap dengan peta-petunjuk arah evakuasi.
Peranan Destana ini akan lebih maksimal apabila pemerintah daerah dan pelaku bisnis juga memandangnya sebagai hal serius; seperti penyediaan bangunan rumah tahan gempa, shelter evakuasi dan yang tak kalah pentingnya menegakkan aturan untuk tidak sembarang membangun pemukiman penduduk- destinasi wisata di kawasan pesisir.
Berdasarkan kajian para ahli jika guncangan gempa tidak berhenti lebih dari 30 detik, maka 75 persen dapat berpotensi tsunami, meskipun terjadinya pelan-pelan. Tanda-tanda potensi tsunami pun tidak selalu memiliki karakteristik yang sama. Seperti surutnya air laut atau berhentinya hembusan angin, meskipun itu terjadi pada daerah yang sama dalam waktu yang berbeda, pasti memiliki karakteristik yang berbeda.
BACA JUGA:Mengatasi Fenomena Boros Pangan
Jadi, teknologi canggih untuk pendeteksian bencana sangat penting. Namun, hal itu harus berjalan seiringan dengan peningkatan kesadaran dan ketangguhan masyarakat. Semua ini, merupakan tentang bagaimana membangun harapan untuk pembangunan yang berkelanjutan, meski harus berada dalam ancaman potensi bencana yang dahsyat. (ant)
Oleh M. Riezko Bima Elko Prasetyo