'Membangun di Lahan Basah', Sebuah Cerita dari Pesisir Utara Jakarta

Minggu 15 Dec 2024 - 21:06 WIB
Oleh: Lia Wanadriani Santosa

Fungsi gudang untuk menyimpan komoditas rempah berakhir mengikuti kejatuhan dan kebangkrutan VOC di akhir abad ke-18. Pada 24 Desember 1795, pemerintah Belanda yang mengambil alih manajemen VOC, menjadikan Gudang Barat sebagai bangunan untuk menyimpan komoditas kopi.

Satu hal menarik terkait gudang ini, yakni konstruksi bangunan gedung. Belanda membangun fondasi menggunakan cerucuk kayu, lalu ditambah lapisan bata dari Belanda. Kadang-kadang, pada fondasi juga ditambahkan batu karang, ditutup kapur dan pecahan kerang.

Serangkaian arsip serta hasil dokumentasi arsitektur dan kawasan sekitar Museum Bahari yang dibuat oleh PDA dan mahasiswa Program Pendidikan Profesi Arsitektur Universitas Indonesia Angkatan 2023 itu mencoba menggambarkan terkait konstruksi ini.

BACA JUGA:Merumuskan Kebijakan Pajak Berkeadilan

Tak melulu arsitektur, hal menarik lainnya pada bagian ini yakni ide seniman yang menyoroti para pekerja pelabuhan dengan kehidupan domestiknya. Dia kemudian membuat pengaturan berupa meja dan kursi dibuat, guna menghidupkan aktivitas seperti minum kopi bersama yang dilakukan para pekerja.

Memasuki bagian keempat pameran, “Menjadi Museum Bahari”, menampilkan arsip foto kondisi Museum Bahari selepas kemerdekaan hingga masa awal menjadi museum. Sebuah narasi dalam bentuk tulisan disajikan, yang menceritakan perjalanan Gudang Barat hingga akhirnya menjadi Museum Bahari yang saat ini sebagai cagar budaya.

Rifandi menambahkan wawancara dengan warga sekitar terkait keberadaan Museum Bahari saat ini. Dia menggambarkan curahan hati warga sekitar yang merasa museum seperti rumah tetangga mereka, tempat bermain dan lainnya.

"Mereka mengaku sebetulnya cukup dekat dengan museum, terutama yang tinggal di belakang museum. Kalau ada hajatan bisa meminjam kursi. Pekerja yang buat kapal di koleksi museum dari Kampung Akuarium," jelas Rifandi.

Pengingat

Meminjam kalimat Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Restu Gunawan yang mengatakan pameran ini "memamerkan masa lalu sekaligus merancang masa depan".

BACA JUGA:Meramalkan Resesi Ekonomi dengan Sebuah Lipstik

Sejarah, menurut dia, bukan semata mengingatkan masyarakat tentang kejayaan masa lalu, melainkan juga agar mereka bersiap menghadapi tantangan-tantangan pada masa mendatang.

Penggunaan frasa "lahan basah" pun menjadi perhatian. Pada masa kini, frasa tersebut bahkan masih relevan yakni terkait fenomena penurunan tanah.

Riset yang dilakukan peneliti, antara lain,  Hasanuddin Z. Abidin, Heri Andreas, Irwan Gumilar, Yoichi Fukuda, Yusuf E. Pohan & T. Deguchi dalam Natural Hazards tahun 2011 mengemukakan Jakarta menjadi salah satu kota yang mengalami penurunan tanah paling cepat di dunia, dengan tingkat penurunan mencapai 2--15 cm per tahun dalam 25 tahun terakhir.

Kawasan berdekatan dengan pantai adalah yang paling terdampak oleh fenomena ini yakni beberapa daerah di bagian utara, barat laut, dan timur laut Jakarta yaitu Cengkareng, Penjaringan, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk, Ancol, Cilincing, dan Cakung.

Hal lain yang juga menjadi sorotan dalam pameran yakni kekayaan arsitektur, termasuk pemanfaatan sumber-sumber ramah lingkungan dalam arsitektur bangunan. Ini dapat menjadi pengingat bahwa arsitektur pada masa lalu sekalipun sangat bersahabat dengan alam.

BACA JUGA:Mikroagresi dan Pedagang Es Teh

Kategori :