Perjuangan Era Modern: Mencintai Indonesia dengan Segala Cara

Semua dari kita bisa berkontribusi untuk bersama mewujudkan Indonesia mulia, lebih dari sekadar merdeka--(ANTARA/Sizuka)

JAKARTA - Tidak perlu berangkat berperang mengangkat senjata, apalagi hingga mengorbankan nyawa. Generasi kiwari tinggal menikmati kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu. 

Tugas kita tinggal mengisinya dengan hal-hal berarti. Tidak harus para pejabat, pun mereka yang berpangkat, semua dari kita bisa berkontribusi untuk bersama mewujudkan Indonesia mulia, lebih dari sekadar merdeka.

Hari ini 17 Agustus 2024, usia negara kita telah mencapai 79 tahun. Usia yang cukup matang, namun bukan berarti kita boleh ongkang-ongkang karena merasa semua sudah aman. Peperangan yang lebih dahsyat justru tengah kita hadapi dan mungkin akan terus berkembang dalam berbagai versi.

Antara kemajuan zaman dan tantangan yang menyertai selalu sejalan dan beriringan, seperti kemajuan teknologi digital yang ternyata memunculkan sisi gelap berupa maraknya perjudian daring dan modus tipu-tipu yang ikut berkembang kian canggih. Juga pesatnya pergaulan global yang mengundang penjajahan versi baru, karena kita terlalu ramah menerima kedatangan budaya dan produk asing.

Bergaul secara global adalah keniscayaan zaman, namun ada aspek nasionalisme yang berada di tepi jurang. Terlebih angkatan remaja yang masih mudah ternganga oleh pesona para idola negara lain, dan serta-merta bersikap menghamba kepada mereka. Menggandrungi produk hiburan asing tidak terasa telah membuat seni budaya dalam negeri bagai anak tiri.

BACA JUGA:Jilbab IKN

Para promotor yang cuma fokus berpikir dari aspek bisnis terus ketagihan mengundang para selebritas asing karena penjualan tiket berapa pun mahalnya selalu ludes terjual. Beruntung masih banyak yang memiliki kesadaran untuk menggalang keberpihakan pada budaya milik sendiri. Itulah salah satu perang gaya baru, membendung segala yang datang dari luar, baik budaya maupun suatu produk.

Apa pun yang berasal dari asing dan keberadaannya mendominasi di dalam negeri, bisa dikatakan sebagai penjajahan terselubung yang perlu kita perangi dengan semangat nasionalisme.

Untuk menyegarkan kembali nasionalisme dan mengingatkan konsep merdeka, kita bisa putar lagi pidato Presiden Soekarno pada peringatan 17 Agustus 1964 ketika sang proklamator menyampaikan gagasan Tri Sakti. Disebutkan bahwa makna merdeka itu ialah Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan.

Masih terkait kedaulatan, ada pula kata bijak Bung Karno yang layak dicamkan, "Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka".

Saat merayakan hari kemerdekaan, kenangan kita kontan melayang tertuju pada para tokoh pendiri bangsa yang telah mendobrak gerbang kemerdekaan. Jangan lupa dan perlu kita ketahui juga tokoh pergerakan yang telah merintis pondasi negara ini, jauh sebelum itu.

Tersebutlah dokter Soetomo yang hidup pada rentang tahun 1888 hingga 1938. Ajaibnya, pada masa itu, ketika kemerdekaan belum kita peroleh, tokoh pergerakan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, itu sudah sibuk membangun pondasi sosial ekonomi, selain kampanye mengobarkan kesadaran dalam berbangsa dan bernegara.

BACA JUGA:5 Tokoh Pembangunan Belitung Dapat Penghargaan di HUT ke-79 RI

Menurutnya, pembangunan ekonomi untuk menyejahterakan rakyat tidak bisa menunggu nanti-nanti sampai kemerdekaan dapat direbut. Kesejahteraan, termasuk akses pendidikan dan layanan kesehatan adalah kebutuhan dasar masyarakat yang mendesak untuk diperjuangkan pemenuhannya, meski dalam situasi terjajah.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan