Ujian Moral Hakim di Kasus Korupsi Timah: Saksi Ahli Kritik Jerat terhadap Swasta
Sidang pemeriksaan saksi kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat-- (Antara)
Kasus ini tidak hanya menjadi ujian berat bagi para hakim, tetapi juga menggambarkan kompleksitas dalam penanganan perkara Tipikor, terutama ketika melibatkan pihak swasta dan aspek lingkungan.
BACA JUGA:Peluang Ekonomi Baru, Mantan Penambang Timah Beltim Tertarik Pindah Profesi Jadi Petani Bawang Merah
Ia juga menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang menghapus kata "dapat" dalam frasa menimbulkan kerugian negara.
MK memutuskan penghapusan kata tersebut karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan ini menegaskan bahwa kerugian negara dalam perkara korupsi harus bersifat nyata dan pasti (actual loss), serta dapat dihitung oleh lembaga yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk memutus perkara tipikor. Hakim memang memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan, tetapi MK sudah menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” tegasnya.
BPKP Dinilai Tidak Berwenang
Penggunaan hasil penghitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus ini menuai kritik. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) itu menegaskan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan hukum untuk menghitung kerugian negara.
BACA JUGA:Kasus Korupsi Timah: Kejagung Sita Aset Hendry Lie, Berapa Nilainya?
“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya sebatas pengawas dan auditor internal untuk kementerian atau lembaga pemerintah, dan itu pun berdasarkan Peraturan Presiden. Penghitungan resmi kerugian negara adalah tugas BPK,” jelasnya.
Ia juga mengkritik laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah, yang menurutnya terkesan dipaksakan. Apalagi, kasus ini menyasar pihak swasta yang hanya berperan sebagai mitra kerja anak usaha BUMN.
“Menurut saya, ini dipaksakan. Dasar perbuatan melawan hukum (PMH) yang dijadikan rujukan pun tidak jelas. Jika ada pelanggaran wewenang di level direksi PT Timah, itu masih masuk akal. Tapi jika menyasar pihak swasta, belum tentu relevan, karena mereka dilindungi oleh kontrak perjanjian,” tandasnya. (Babel Pos)