Perjuangan Guru di Bondowoso Merayu Siswanya Kembali ke Sekolah

Sejumlah guru SMKN 1 Sumberwringin ketika berkunjung dan menemui siswanya yang lama tidak masuk sekolah di Bondowoso, Jawa Timur, Rabu (24/1/2024)--(Masuki M. Astro)

Kalau guru pada umumnya banyak yang mengingatkan anak muridnya agar tidak berpacaran saat usia sekolah, Yulis justru menyarankan Ai untuk punya pacar teman satu sekolah.

BACA JUGA:Menjadi Pelajar Pancasila yang Kepo Itu Harus!

Kata Yulis kepada Ai, kalau di sekolah punya pacar, mungkin akan menjadi penyemangat bagi dia rajin masuk kelas. Tentu saja saran Yulis itu hanya sebatas guyonan, ketika si guru kehabisan bahan untuk memotivasi muridnya.

Bagi masyarakat perkotaan, motivasi memiliki ijazah, minimal setingkat SLTA, mungkin sudah biasa. Ijazah SMK di kota bisa digunakan untuk melamar pekerjaan. Berbeda dengan masyarakat desa, apalagi yang tinggal di lereng gunung. Bagi mereka, ijazah SD dengan SLTA, hampir tidak ada bedanya.

Paradigma berpikir komunal seperti itulah yang ditangkap oleh Erni dan Yulis, sehingga mereka tidak mudah untuk merayu muridnya semangat bersekolah kembali hingga mendapatkan ijazah.

Kasus Ai hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi Erni dan Yulis dalam menjalankan tugas sebagai "pahlawan tanpa jasa" dengan penuh dedikasi dan komitmen untuk mengantar anak didiknya menyadari pentingnya pendidikan.

Erni dan Yulis mengaku pernah "patah hati" ketika menghadapi muridnya yang tidak mau kembali ke sekolah, sekitar sebulan sebelum ujian akhir.

"Saya betul-betul merasa patah hati, saat itu. Masalahnya, si anak masih ingin menyelesaikan pendidikan hingga mendapatkan ijazah, tapi orang tuanya bersikukuh untuk menikahkan anak perempuannya itu. Rasanya pingin nangis saya," kata Yulis, yang juga diiyakan Erni.

Saat itu, Erni dan Yulis mendatangi rumah murid perempuan itu yang sudah beberapa hari tidak masuk sekolah. Kedua guru itu baru tahu bahwa orang tua si siswa sudah mengikat janji dengan orang tua tunangan si anak.

Karena sudah menyepakati hari dan tanggal pernikahan, orang tua siswa itu tidak mau mengundur jadwal pernikahan, meskipun anaknya masih ingin menyelesaikan sekolah.

Erni dan Yulis menyarankan orang tua si murid agar pernikahan dilakukan secara agama terlebih dahulu, sebelum dicatat resmi di kantor urusan agama (KUA).

BACA JUGA:Pemilu 2024 atau Pemilu Milenial

Orang tua siswa bergeming, dengan mengemukakan berbagai alasan, misalnya sudah telanjur mendapatkan "hari baik" dari tokoh agama di desa untuk pernikahan, termasuk sudah memesan berbagai sarana untuk resepsi pernikahan. Selain itu, calon menantu mengancam akan meninggalkan anak perempuannya jika pernikahan itu ditunda.

Di situlah Erni dan Yulis terjebak dalam rasa bersalah berkepanjangan karena gagal menyelamatkan siswanya dari jeratan pernikahan dini.

Begitulah tantangan sekaligus perjuangan guru yang bertugas di perdesaan. Guru dan sekolah harus betul-betul menempatkan diri sebagai pengayom bagi anak didiknya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan