Djoss Belitung

Ekonomi Rendah Emisi di Lahan Gambut

Seorang petani memetik daun sawi yang ditanam di lahan gambut di Desa Sungai Selamat, Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (12/11/2024). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/Spt. -Jessica Wuysang-Antara Foto

Artinya, usaha untuk menaikkan muka air tanah, misalnya dengan sekat kanal, penting untuk menurunkan emisi GRK, baik dari dekomposisi maupun kebakaran gambut.

Kedua, kebakaran gambut dapat memicu penurunan muka lahan (subsidens) yang cepat. Setiap 1 cm subsidens berasosiasi dengan kehilangan karbon sebanyak 10,6 t CO2-e/ha atau 2,9 t C/ha.

BACA JUGA:Penerapan Transformasi Keamanan Digital Cegah Judi Daring

Ketiga, restorasi gambut dengan jenis tanaman endemik, seperti belangeran, jelutung, dan punak, dapat meningkatkan serapan karbon lebih baik dibandingkan hanya dengan mengandalkan regenerasi alami.

Keempat, keanekaragaman tertinggi mikroba terdapat pada habitat alami yang tidak diintervensi.

Kata kunci dari keenam catatan tersebut adalah pengelolaan lahan gambut yang baik hanya dapat dilakukan dengan menjaga muka air tanah tetap tinggi (dekat dengan permukaan tanah), sehingga subsidens, emisi, dan kebakaran, dapat diminimalkan.

Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, Emisi gas rumah kaca lahan gambut, Dampak kebakaran gambut, telah membuktikan bahwa pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dapat diwujudkan dengan kolaborasi multipihak.

Praktik baik tersebut juga telah menghasilkan Rancangan Standar Nasional Indonesia Pengelolaan Pertanian Lahan Gambut untuk Perkebunan Lahan Sawit serta buku panduan inventarisasi emisi gas rumah kaca dari kebakaran gambut dan dari dekomposisi gambut.

Berbagai upaya tersebut diharapkan menjadi jalan keluar bagi bangsa ini agar aktivitas ekonomi masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dapat terus berjalan beriringan dengan rendah emisi, sehingga terwujud pula keberlanjutan lingkungan.

Jika hal itu tercapai, maka posisi diplomasi Indonesia di level global dapat meningkat karena target penurunan emisi terwujud. (ant)

Oleh: Dr. Ladiyani Retno W. dan Dr. Destika Cahyana

Peneliti di BPSI Tanah dan Pupuk, Kementerian Pertanian, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan