High Context & Low Context, Mana Gaya Komunikasimu? (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)
Ares Faujian--
Menurut Hall (1976), budaya Asia, termasuk Indonesia, memiliki ciri khas high context. Komunikasi di negara-negara ini dipengaruhi oleh kebersamaan dan harmoni sosial, yang mana menjaga perasaan orang lain menjadi salah satu prioritas utama.
Ketika seseorang menyampaikan ketidaksetujuan, sebagian mereka melakukannya dengan bahasa yang sangat halus atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh. Hal ini dilakukan untuk menghindari kata-kata yang mungkin akan menimbulkan konflik atau kesalahpahaman. Ihwal yang seperti ini di Indonesia salah satunya terdapat pada suku Jawa.
Budaya Konteks Rendah
Gaya komunikasi low context atau konteks rendah banyak ditemukan di budaya Barat. Negara-negara ini menilai komunikasi efektif ketika pesan disampaikan dengan gamblang dan detail yang jelas. Feiren Dina Junita (2022) menyampaikan bahwa negara yang menggunakan budaya konteks rendah ialah Amerika Serikat, Jerman, Kanada, Dermark, Swedia, Swiss, hingga Norwegia.
Kejelasan dan keterusterangan adalah hal yang penting bagi masyarakat yang menggunakan budaya konteks rendah. Contohnya, seseorang yang tidak setuju akan langsung menyatakan pendapatnya tanpa takut menyakiti perasaan lawan bicaranya, baik itu pada kehidupan sehari-hari atau di dunia sekolah dan kerja.
Di lingkungan kerja Amerika, umpan balik percakapan atau pekerjaan cenderung eksplisit dan rinci, serta kesalahpahaman dihindari dengan berbicara secara lugas. Di perusahaan-perusahaan di Amerika ini, manajer biasanya memberikan komentar yang jelas ketika ada hal yang perlu diperbaiki, dengan tujuan agar pesan diterima secara akurat dan efektif.
BACA JUGA:Menjaga Kelancaran Pendistribusian Demi BBM Satu Harga di Tapal Batas
Dampak Perbedaan Gaya Komunikasi
Kesadaran akan gaya komunikasi ini penting, terutama dalam interaksi lintas budaya. Ketika seseorang bekerja di Jepang, seorang dari Amerika bisa saja merasa frustrasi karena rekan kerjanya tampak enggan memberikan kritik langsung. Sebaliknya, seorang rekan kerja dari budaya high context bisa merasa tersinggung dengan gaya low context yang terlalu terbuka atau blak-blakan.
Kita juga bisa membayangkan, jika manajer asing yang baru pertama kali memimpin sebuah kantor/ perusahaan lokal di Indonesia. Jika ia berasal dari budaya low context, kemungkinan besar ia akan berkomunikasi dengan cara langsung dan eksplisit, seperti memberikan instruksi yang rinci. Namun, hal ini justru bisa jadi membuat karyawan lokal merasa kurang nyaman, karena dianggap terlalu terbuka atau kurang sopan. Inilah yang disebut oleh Stella Ting-Toomey (2012) sebagai communication clash. Ihwal ini diartikan benturan komunikasi, yang biasanya terjadi ketika dua individu atau lebih dengan gaya komunikasi berbeda sedang berinteraksi.
Bagi mereka yang hidup dalam budaya high context, komunikasi adalah seni merangkai makna yang kaya dalam ungkapan yang halus. Di sisi lain, budaya low context mendorong kejelasan, agar tidak ada yang perlu disalahpahami atau dipikirkan lebih jauh. Jika dua orang dari budaya ini berinteraksi tanpa pemahaman yang baik, maka akan terjadi benturan komunikasi. Menurut Trompenaars dan Hampden-Turner (1998), mengenali dan memahami perbedaan gaya komunikasi ini dapat membantu orang dari berbagai latar belakang budaya berkomunikasi lebih efektif dan harmonis.
BACA JUGA:Kopi Unik Gunung Ciremai, Cita Rasa Nusantara Mendunia
Gaya Komunikasi yang Tepat
Tidak ada gaya komunikasi yang lebih baik. Kedua gaya komunikasi ini memiliki keunggulan dan tantangan masing-masing tergantung pada situasi dan konteksnya. Pada akhirnya, yang terpenting adalah kemampuan menyesuaikan diri sesuai situasi.
Dalam hubungan pribadi, pendekatan high context akan terasa lebih baik karena lebih lembut dan memperhatikan perasaan orang lain. Namun, dalam dunia bisnis atau pekerjaan, komunikasi low context yang lugas dan efektif lebih disukai, karena langsung to the point.
Lalu, bagaimana kita bisa menemukan keseimbangan antara high context dan low context? Meyer (2014) menyarankan pentingnya mengembangkan “kesadaran konteks” agar dapat fleksibel dalam berkomunikasi. Ia menjelaskan, bahwa keterampilan untuk ‘bergeser’ antara gaya komunikasi high context dan low context sangat penting, terutama di lingkungan kerja multikultural.
Dari program AFS 2024, kami belajar bahwa fleksibilitas adalah kunci untuk memahami perbedaan gaya komunikasi. Seseorang yang terbiasa dengan budaya low context perlu melatih kemampuan membaca bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan isyarat non-verbal saat berkomunikasi di lingkungan high context. Akan tetapi, bagi mereka yang terbiasa dengan budaya high context, keberanian untuk menyampaikan pandangan secara langsung dan eksplisit menjadi penting saat berkomunikasi di lingkungan low context.
BACA JUGA:Menakar Potensi dan Konsekuensi Ekonomi dari Keanggotaan RI di BRICS