Sedih Tidak
Dahlan Iskan--
Ahmadie sendiri alumni pesantren Al Amin, Prenduan, ”Gontor”-nya Madura. Ia angkatan keempat. Masih era harus menanak nasi sendiri. Belum ada listrik. Pakai lampu teplok.
Setelah tamat Al Amin, Ahmadie harus ”mengabdi” dua tahun, mengajar tanpa gaji. Seperti itu pula tradisi di Gontor, Ponorogo.
BACA JUGA:Aplikasi Sopir
Setelah itu ia ingin masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Atau UGM. Ditolak. Alasannya: hanya lulusan pondok --masih ikut aturan lama.
Padahal secara keilmuan banyak pun sarjana IAIN yang tidak sehebat dirinya. Sambil lontang-lantung di Yogya Ahmadie menerjemahkan kitab-kitab klasik seperti Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Juga Ar-Risalah karya ulama dunia Imam Syafii. Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali. Shahih Bukhari dan banyak lagi.
Lontang lantung tapi produktif.
Ahmadie pun ke Jakarta. Ia masuk Universitas As-Syafiiyah, sampai tingkat sarjana muda. Dari situ barulah bisa lanjut kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Selesai 1996.
Di Ciputat, Ahmadie aktif di HMI. Mulai banyak pula menulis --sering dimuat di majalah yang didirikan Buya Hamka, Panji Masyarakat.
Ia juga mendiririkan kelompok studi LSI (Lingkaran Studi Indonesia). Nama LSI belakangan dipakai Denny JA dan Saiful Mujani, keduanya sama-sama rekan aktivis Ahmadie.
Di Jakarta Ahmadie kenal dengan seniman teater Amak Baljun. Diajak masuk Tempo. Satu angkatan dengan Zaim Uchrowi. Saya sudah meninggalkan Tempo saat itu --ditugaskan ke Jawa Pos.
Setelah bertanya ke Chat GPT, Ahmadie ingin tahu lebih banyak kelenteng yang saya datangi. Ia bukan tipe orang yang "lihat sekilas langsung bicara". Ia bukan kompor sumbu pendek.
Hasil penelusurannya itu ia WA-kan ke saya:
"Saya coba telusuri teks yang terpampang di altar itu. Saya memperoleh info dari google, bahwa bunyinya adalah 鳳山宮".
Lalu Ahmadie pergi ke Chat GPT lagi. Ini penjelasan ChatGPT:
Teks "鳳山宮" (dibaca: Fèngshān Gōng) merujuk pada sebuah kuil aslinya di Taiwan yang didedikasikan untuk Dewa Mazu, dewi laut dalam kepercayaan orang Tionghoa.