Memberdayakan Kaum Perempuan Marginal Melalui Pendidikan Alternatif
Para kader memperhatikan dengan saksama penjelasan dari fasilitator dalam program Sekolah Perempuan di Pulau Morotai, Maluku Utara. ANTARA/HO-Kapal Perempuan--
Dari pelatihan itu, Misi, sapaan Misiyah, baru menyadari bahwa ada banyak ketidakadilan gender yang selama ini terjadi dalam hidupnya dan juga di kehidupan para perempuan lainnya.
Ketika itu, satu-satunya referensi mengenai gender adalah Buku "Pembagian Kerja Secara Seksual" karya Arief Budiman.
BACA JUGA:Hari Bumi Momentum Dorong Sirkular Ekonomi
Kini telah 24 tahun Misi "menggerakkan layar" organisasi pemberdaya perempuan itu.
Ada pasang surut, ada manis pahitnya selama perjalanan di samudera perjuangan mendidik perempuan dan kelompok marjinal.
Mewujudkan kesetaraan itu masih panjang perjuangannya. Tantangan budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat.
Belum dilaksanakannya kebijakan yang melindungi perempuan secara menyeluruh. Serta masih kurangnya penganggaran untuk isu-isu gender.
Juga problem penegak hukum yang belum banyak yang memiliki perspektif gender dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
Perjuangan Misi tidak mudah melawan budaya patriarki yang masih memandang perempuan sebagai warga kelas dua.
Namun dia tidak gentar. Misi berani melawan ketidakadilan gender yang dirasakan perempuan lewat pendidikan alternatif KAPAL Perempuan.
Misiyah boleh disebut sebagai sosok Kartini modern.
Cita-citanya hanya ingin menjadi bagian dari orang-orang yang mau melakukan perubahan untuk masyarakat agar tidak ada satupun masyarakat yang ditinggalkan dalam pembangunan.
BACA JUGA:Kisah 'Kartini' dari Lampung memberdayakan anak-anak termarginalkan
Perjuangan R.A. Kartini tidak pernah padam, ikhtiarnya masih diteruskan oleh Misiyah dan para penerus Kartini lainnya yang memiliki cita-cita Indonesia bebas dari kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, psikis, dan seksual.
Seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki atau perempuan memiliki kesempatan yang setara, tidak ada lagi kemiskinan perempuan, tidak ada lagi perkawinan anak, dan Indonesia yang memiliki sosok-sosok perempuan yang berpikir kritis, tidak menyerah pada nasib, mampu melakukan perubahan bagi dirinya sendiri, dan juga bagi orang lain.(*)