Memberdayakan Kaum Perempuan Marginal Melalui Pendidikan Alternatif
Para kader memperhatikan dengan saksama penjelasan dari fasilitator dalam program Sekolah Perempuan di Pulau Morotai, Maluku Utara. ANTARA/HO-Kapal Perempuan--
Lembaga swadaya masyarakat tersebut memiliki visi menciptakan masyarakat sipil, khususnya gerakan perempuan yang kuat untuk mempercepat terciptanya masyarakat yang memiliki daya pikir kritis, solidaritas, berkeadilan gender, pluralis, transparan, dan anti kekerasan.
Pendidikan ini menjangkau aktivis perempuan terutama yang berasal dari wilayah sulit akses, juga perempuan miskin, perempuan di wilayah terpencil, perempuan dengan agama minoritas, perempuan bersuku minoritas, minoritas identitas lainnya.
Sekolah Perempuan
Sekolah Perempuan merupakan salah satu pendidikan alternatif yang dikembangkan oleh lembaga swadaya masyarakat itu di komunitas-komunitas dan di desa-desa.
Di Sekolah Perempuan, para kader mempelajari modul-modul pemberdayaan perempuan, diantaranya tentang pemetaan peta masalah perempuan, konsep gender, nilai-nilai inklusif, gender dan dampak sosial, budaya, politik, dan ekonomi, analisis penyebab ketidakadilan gender, strategi memperkecil ketidakadilan gender, strategi reproduksi, kepemimpinan perempuan, strategi membangun organisasi perempuan, dan berbagai isu-isu tematik.
Setiap 2 pekan, fasilitator menggelar pembelajaran secara tatap muka dengan para kader. Lokasi belajar ada yang dilakukan di balai desa, ada yang di pinggir sungai, atau bahkan di pinggir pantai.
Tujuannya supaya para kadernya mampu berpikir kritis, berdaya, dan bisa mengadvokasi kebijakan di desanya.
Sekolah Perempuan ini banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Pulau Morotai, Maluku Utara; Mamuju, Sulawesi Barat; Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan; Padang Pariaman dan Padang, Sumatera Barat; Serang, Banten; Bidara Cina dan Klender, Jakarta Timur; Bantaran Sungai Ciliwung, Rawajati, Jakarta Selatan; Gresik dan Lumajang, Jawa Timur; Lombok Utara dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat; Kupang, Nusa Tenggara Timur; dan Denpasar, Bali.
BACA JUGA:Memaknai Kartini, Memaknai Kesetaraan Gender
Selain Sekolah Perempuan, program lainnya yang ada di LSM itu adalah pelatihan berjenjang yang diperuntukkan bagi para aktivis perempuan.
Pelatihan berjenjang bertujuan untuk memperkuat kepemimpinan perempuan dengan perspektif feminisme dan pluralisme. Harapannya, usai mengikuti pelatihan ini, para aktivis dapat menjadi pemimpin di wilayah mereka dengan melakukan pengorganisasian perempuan dan mengadvokasi isu-isu perempuan dan keberagaman.
Tercatat pelatihan berjenjang yang dikembangkan oleh organisasi itu kini telah memiliki sedikitnya 500 alumni, yang semuanya perempuan.
Dari para alumnus tersebut, ada yang setia menjadi aktivis di gerakan perempuan, ada yang memilih berkecimpung di gerakan lingkungan dan hingga saat ini tetap berkarya di daerah terpencil di Papua, Morotai pulau perbatasan, Bone wilayah pesisir, Aceh, dan berbagai wilayah lainnya.
Wujudkan kesetaraan
Misiyah, salah seorang aktivis pendiri organisasi tersebut, mulai tertarik dengan isu gender sejak tahun 1991 setelah mengikuti sebuah pelatihan mengenai gender. Saat itu usianya masih 24 tahun.