Memberdayakan Kaum Perempuan Marginal Melalui Pendidikan Alternatif

Para kader memperhatikan dengan saksama penjelasan dari fasilitator dalam program Sekolah Perempuan di Pulau Morotai, Maluku Utara. ANTARA/HO-Kapal Perempuan--

JAKARTA - Jika kita melihat kondisi di kota-kota besar seperti Jakarta, laki-laki dan perempuan seakan-akan sudah berada dalam posisi yang setara. Baik perempuan maupun laki-laki bisa sama-sama menduduki berbagai jabatan tinggi di pemerintahan dan swasta.

Perempuan juga bisa menjalankan berbagai pekerjaan dan profesi yang dulu hanya dilakukan oleh laki-laki.

Namun, di balik situasi ideal tersebut, masih banyak perempuan yang tidak tersorot oleh publik, padahal mereka berada dalam kondisi marginal.

Tidak seperti perempuan yang hidup di perkotaan dan berasal dari kalangan menengah ke atas, para perempuan ini dihadapkan pada  berbagai permasalahan sosial.

Tercapainya keadilan sosial, kesetaraan, keadilan gender, serta perdamaian di ranah publik dan privat menjadi tujuan didirikannya Institut Kapal Perempuan sebagai upaya memperkuat gerakan perempuan untuk memperkuat daya pikir kritis dengan perspektif feminis dan pluralis.

Kapal Perempuan merupakan akronim dari Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan, yang didirikan pada 8 Maret 2000, sebagai bentuk keprihatinan pada situasi pasca- Reformasi.

BACA JUGA:Merajut Kembali Persatuan Usai PHPU Pilpres 2024

Pasalnya, pasca-Reformasi masih menyisakan sekat-sekat konflik dan kekerasan akibat politik identitas berbasis suku, ras, agama, dan gender yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu juga terjadi pelanggaran hak-hak asasi perempuan termasuk seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan serta praktik diskriminasi terhadap kelompok marjinal dan minoritas.

Pemiskinan perempuan terus berlangsung, tingginya kekerasan terhadap perempuan, perkawinan anak, penundukan perempuan, tingginya perempuan yang buta huruf, sementara kepemimpinan perempuan di ranah formal maupun di komunitas masih sangat rendah.

Otonomi daerah yang diterapkan berhadapan dengan situasi tersebut sehingga perempuan tidak memiliki ruang dan posisi tawar.

Oleh karena itu, lima aktivis, yakni mendiang Yanti Muchtar, mendiang Veronica Indriani, Misiyah, Wahyu Susilo, dan seorang suster mendirikan organisasi tersebut untuk menjangkau kelompok yang selama ini tak terjangkau untuk ditumbuhkan pemikiran kritisnya melalui pendidikan alternatif.

Pendidikan ini membongkar cara pandang yang selama ini tertutup menjadi terbuka, yang semula kebenaran tunggal menjadi plural, yang semula patriarki dan menganggap perempuan lebih rendah menjadi pemikiran dan sikap yang setara.

BACA JUGA:Membuka Potensi Tersembunyi Anak Dengan Autisme Melalui Seni

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan