Hendrya Sylpana

Membuka Potensi Tersembunyi Anak Dengan Autisme Melalui Seni

Seorang pengunjung memperhatikan lukisan bertajuk “Empowering Inclusivity Powered by Hidden Talent” karya orang dengan kebutuhan khusus yang diselenggarakan di Jakarta, 23 April 2024--31 Mei 2024. ANTARA/Indriani--

Autisme memberikan perspektif unik bagi Raysha dalam melihat dunia. Lukisan Raysha tak hanya ditampilkan di media kanvas, tetapi juga di berbagai medium seperti baju, jaket, tas, kotak pensil, hingga barang elektronik. Hingga saat ini lebih dari 90 karya lukis dihasilkan oleh Raysha. Hasil penjualan karya lukis Raysha disumbangkan pada pendidikan anak-anak dengan autisme dari keluarga prasejahtera.

Meski Raysha masih membutuhkan bantuan orang lain, ia membuktikan dirinya bisa menolong orang lain melalui karyanya.

Ke depan, Prita berharap masyarakat akan makin menerima keberadaan anak dengan autisme dan mengakui keberadaan mereka. Selama masyarakat menerima, maka anak-anak dengan autisme akan memiliki kesempatan untuk terus berkembang dan dapat menolong dirinya sendiri serta membantu orang lain.

Gangguan mental

Lain cerita Raysha, lain pula kisah Dwi Putro Mulyono Jati yang biasa disapa Pak Wi, yang memiliki gangguan mental. Melukis telah menjadi keseharian bagi Pak Dwi, yang sejak kelas tiga SD kehilangan pendengaran dan cenderung menyendiri. Akibat kebiasaannya yang cenderung menyendiri, pembelajarannya menjadi terhambat dan berakibat tidak naik kelas.

Pak Wi kemudian enggan ke sekolah dan disarankan untuk dipindahkan ke SLB Negeri 1 Yogyakarta. Namun, Pak Wi juga enggan berangkat ke sekolah. Menurut adik Pak Wi, Nawa Tunggal, gejala awal gangguan mental yang dialami oleh Pak Wi adalah mania atau kesukaan yang berlebihan akan sesuatu.

BACA JUGA:Lapangan 'Kerja Hijau' Bagi Generasi Z

BACA JUGA:Potensi Eskalasi Konflik Iran-Israel dan Harga Minyak yang Mencekik

“Contohnya, karena kita keluarga besar tentu memiliki meja yang besar dan Pak Wi selalu duduk di tempat yang sama. Kalau tidak, bisa mengamuk,” kenang Nawa.

Pada usia remaja, Pak Wi menyukai perempuan di kelas yang berbeda dan kerap tidak masuk kelas hanya untuk melihat perempuan tersebut.

Manifestasi tersebut memicu gangguan mental dan membuatnya harus berobat jalan. Puncaknya saat kedua orang tuanya meninggal dan Pak Wi lebih banyak menghabiskan waktu di jalan. Prihatin dengan hal tersebut, Nawa kemudian mengenalkannya dengan lukisan pada tahun 2000-an. Kegiatan melukis tersebut membawa dampak positif bagi Pak Wi.

Kegemarannya akan melukis pula membuat Pak Wi diteliti oleh Borderless Art NoMa Museum, Jepang, sepanjang 2016-2018. Saat ini, ribuan lukisan telah dihasilkan oleh Pak Wi yang setiap hari melukis. Dalam 3 tahun terakhir, Pak Wi telah berpartisipasi dalam berbagai pameran lukisan.

Meski tak mudah untuk menemukan potensi anak dengan autisme maupun orang dengan gangguan mental, dengan kesabaran dan latihan yang dilakukan berulang bisa membantu mereka untuk mandiri dan mampu berkontribusi kepada sesama. (*)

*) Oleh Indriani

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan