Minyak Nilam Indonesia yang Harumkan Dunia

Ilustrasi - Mahasiswi menyelesaikan proses pembuatan parfum dari salah satu minyak atsiri yang dihasilkan oleh tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) di Pusat Unggulan Iptek Nilam Aceh Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda--(ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Harga, penyakit, dan sertifikasi

Industri nilam Indonesia memiliki prospek yang sangat cerah sebagai penghasil minyak atsiri berkualitas tinggi, namun hingga kini masih menghadapi berbagai tantangan serius.

Tiga tantangan utama yang dihadapi adalah fluktuasi harga, serangan penyakit tanaman, dan standar sertifikasi internasional.

Fluktuasi harga minyak nilam sempat terjadi secara tajam, terutama pada masa pandemi 2020 ketika harga anjlok hingga Rp1 juta per liter. Meskipun harga kini mulai pulih, ketidakpastian pasar global membuat petani dan pelaku industri menghadapi risiko pendapatan yang tidak stabil.

Selain itu, penyakit layu bakteri dan serangan jamur Fusarium menyebabkan kerusakan antara 20 persen hingga 40 persen tanaman nilam di berbagai daerah sentra produksi seperti Aceh, Sumatra Utara, dan Sulawesi, sehingga menurunkan produktivitas dan kualitas hasil panen.

Aspek varietas juga menjadi perhatian penting dalam upaya pengembangan nilam Indonesia. Saat ini, varietas unggul seperti Nilam Tapak Tuan (Pogostemon cablin Benth) yang dikembangkan oleh BSIP menjadi andalan petani karena memiliki kandungan minyak tinggi dan ketahanan relatif terhadap penyakit.

Namun, penyebaran varietas ini belum merata di seluruh daerah sentra nilam, sehingga banyak petani masih menggunakan varietas lokal yang kurang optimal. Pengembangan varietas baru yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim dan tahan penyakit harus terus dilakukan untuk mendukung produktivitas yang berkelanjutan.

BACA JUGA:Mengatasi Defisit Akhlak Anak dengan Tradisi Bertutur

Selain varietas, penerapan teknik budidaya yang baik, seperti rotasi tanaman, pengelolaan hara tanah, dan penggunaan pupuk organik, juga penting untuk menjaga kesehatan tanaman nilam dan meningkatkan kualitas minyak yang dihasilkan.

Dari sisi budi daya, teknologi penyulingan menjadi salah satu titik lemah yang menghambat peningkatan nilai tambah minyak nilam Indonesia.

Penelitian dari Balittro yang kini menjadi BSIP menunjukkan bahwa sebagian besar petani masih menggunakan alat penyulingan tradisional berbahan bakar kayu dengan efisiensi sangat rendah, hanya 2-3 persen, sementara standar industri mengharuskan efisiensi minimal 5 persen.

Kondisi ini menyebabkan minyak nilam yang dihasilkan memiliki kualitas rendah dan sering kali hanya dijual dalam bentuk mentah ke luar negeri, seperti Singapura, untuk diproses lebih lanjut.

Akibatnya, Indonesia kehilangan potensi keuntungan dari hilirisasi produk, yang seharusnya bisa menjadi sumber pendapatan signifikan bagi petani dan industri lokal jika dilakukan pengolahan lanjutan di dalam negeri.

Selain itu, tantangan besar lainnya adalah pemenuhan standar sertifikasi internasional seperti ISO 9001 dan COSMOS (standar kosmetik organik Eropa), yang menjadi syarat wajib untuk menembus pasar global, terutama di industri kosmetik, parfum, dan farmasi.

BACA JUGA:Dari Kemudi ke Cangkul, Menanam Harapan di Ladang Cabai

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan