Mengenal Trading Halt dan Dampaknya di Pasar Saham

Ilustrasi: Seorang pria memantau pergerakan saham melalui gawainya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (21/2/2025). Pada penutupan perdagangan akhir pekan IHSG ditutup pada level 6.803 atau naik 0,22 persen--(ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa/pri)

Salah satu faktor utama adalah kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) terhadap negara mitra dagangnya, yang memberikan dampak negatif bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dari faktor eksternal, tekanan terhadap IHSG terutama dipicu oleh ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi, kebijakan moneter ketat dari bank sentral utama dunia, serta kondisi geopolitik yang bergejolak.

Namun, faktor domestik juga memberikan tekanan besar, terutama akibat serangkaian kebijakan ekonomi yang dianggap kontroversial oleh pasar.

Kekhawatiran investor, baik domestik maupun asing, semakin meningkat terhadap stabilitas ekonomi Indonesia setelah beberapa keputusan yang mempengaruhi sektor keuangan dan perbankan.

Selain itu, pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut saham sebagai bentuk perjudian turut memicu reaksi negatif di pasar.

Pasar modal sangat bergantung pada kepercayaan investor, dan pernyataan semacam ini bisa menimbulkan ketidakpastian yang berujung pada aksi jual besar-besaran.

BACA JUGA:Mentan Pastikan Harga Beras & Minyak Goreng Tetap Stabil, Tak Boleh Naik!

Selain itu, beberapa kebijakan terbaru turut memengaruhi sentimen pasar, salah satunya adalah penghapusan pencatatan utang program. Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap transparansi dan stabilitas keuangan perbankan nasional, terutama bagi bank yang memiliki eksposur besar terhadap kredit UMKM.

Kebijakan penghapusan utang UMKM juga memperbesar kecemasan investor, mengingat potensi dampaknya terhadap profitabilitas bank dalam jangka panjang.

Pasar turut bereaksi terhadap rencana pembentukan 80.000 koperasi desa dengan skema pendanaan sebesar Rp400 triliun dari bank BUMN. Investor menilai program ini berisiko tinggi terhadap potensi kredit macet, yang dapat semakin membebani sektor perbankan nasional.

Tanpa mekanisme mitigasi risiko yang jelas, kebijakan ini berpotensi mengganggu stabilitas sektor keuangan dalam jangka panjang.

Kombinasi berbagai faktor tersebut mendorong aksi jual besar-besaran di IHSG, terutama di sektor perbankan yang selama ini menjadi penopang utama indeks.

BACA JUGA:PLN IP Jamin Pasokan Listrik Andal Selama Lebaran, Antisipasi Lonjakan Penggunaan EV

Saham-saham unggulan seperti BMRI, BBRI, BBCA, dan BBTN mengalami koreksi tajam dalam beberapa bulan terakhir, dengan beberapa di antaranya anjlok lebih dari 40 persen.

Dampak ini kemudian merembet ke sektor lainnya, termasuk teknologi, bahan baku, properti, dan energi, yang juga mengalami tekanan jual signifikan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan