Komitmen Sri Mulyani Jaga APBN Tetap Dalam Koridor

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) didampingi Wakil Menteri Suahasil Nazara (kiri) dan Thomas A. M. Djiwandono (kanan) saat menyampaikan paparan pada konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025)--(ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/YU)
Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menyoroti "rapor merah" penerimaan pajak dalam APBN Januari 2025. Data menunjukkan penerimaan pajak merosot tajam hingga 41,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), dengan realisasi hanya Rp88,89 triliun. Sebagai perbandingan, pada Januari tahun lalu, serapan pajak mencapai Rp152,89 triliun.
BACA JUGA:Cepat & Praktis! BI Luncurkan QRIS Tap, Cukup Tempelkan Ponsel Hanya Butuh 0,3 Detik
Huda mengungkapkan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan tajam ini: pengembalian lebih bayar pajak pertambahan nilai (PPN) tahun 2024 dan kendala dalam implementasi sistem Coretax.
Namun, dalam konferensi pers APBN KiTa, Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, yang menyampaikan laporan penerimaan negara, tidak menyinggung sama sekali perihal Coretax saat membahas hambatan dalam penyerapan pajak.
Anggito Abimanyu mengungkapkan bahwa melambatnya setoran pajak di awal 2025 dipengaruhi oleh dua faktor utama: penurunan harga komoditas dan kebijakan administratif.
Sejumlah komoditas utama mengalami penurunan harga selama Januari–Februari, termasuk batu bara (-11,8 persen), brent (-5,2 persen), dan nikel (-5,9 persen).
Sementara dari sisi kebijakan, penerapan sistem tarif efektif rata-rata (TER) sejak Januari 2024 menyebabkan lebih bayar pajak sebesar Rp16,5 triliun, yang harus dikembalikan pada awal 2025. Selain itu, kebijakan relaksasi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri juga turut memengaruhi perlambatan.
BACA JUGA:Belanja Bansos 2025 Capai Rp25,9 Triliun, Pemerintah Pastikan Tak Terdampak Efisiensi
Meski demikian, Anggito menegaskan bahwa tidak ada anomali dalam penerimaan pajak. Bahkan, hingga akhir Februari, penerimaan pajak menunjukkan tren pemulihan dengan realisasi mencapai Rp187,7 triliun.
Angka tersebut sebenarnya turun sekitar 30,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, di mana penerimaan pajak mencapai Rp269,02 triliun. Namun, menurut Anggito, perlambatan di Januari dan Februari merupakan pola musiman yang terjadi setiap tahun.
Untuk menunjukkan tren ini, ia membandingkan data penerimaan selama Desember, Januari, dan Februari. Menurutnya, perlambatan di awal tahun terjadi karena lonjakan transaksi pada Desember, yang didorong oleh periode Natal dan Tahun Baru.
Jika melihat rata-rata penerimaan dalam tiga bulan tersebut, kinerja Desember 2024 hingga Februari 2025 masih lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Inilah yang disebut Anggito sebagai "data yang normal."
Penyaluran Belanja Pemerintah
Serupa dengan penerimaan pajak, kinerja belanja pemerintah juga bergerak melambat. Pada Januari, terjadi perlambatan belanja pemerintah pusat sebesar 10,76 persen (yoy), dengan belanja kementerian/lembaga (K/L) turun tajam 45,5 persen (yoy).
BACA JUGA:RKP 2026: Pemerintah Fokuskan Pertumbuhan Ekonomi 6,3 Persen, Prioritaskan Pembangunan Berkelanjutan