Setelah BRICS, Indonesia Kejar Target Gabung ke OECD

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengajak para duta besar (dubes) negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk mempercepat proses aksesi Indonesia di Wisma Kedutaan Besar Republik Indonesia di -Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian-ANTARA/HO
Aksesi Indonesia ke OECD mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Mardani Ali Sera juga telah menyampaikan dukungan penuh BKSAP DPR RI terhadap proses bergabung (aksesi) Indonesia ke The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Meskipun memang di balik potensi besar menjadi anggota penuh OECD, ada tantangan serius yang perlu dipertimbangkan. Bergabung dengan OECD bukan sekadar memperoleh status keanggotaan, tetapi juga berarti harus menjalankan reformasi besar-besaran di berbagai sektor.
Salah satu tantangan utama adalah regulasi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang masih banyak mengandung distorsi. Banyak kebijakan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip OECD, terutama dalam aspek persaingan usaha, perpajakan, serta kebijakan tenaga kerja.
BACA JUGA:#KaburAjaDulu, Pelarian atau Perlawanan Sosial?
Misalnya, dalam laporan OECD tentang regulasi pasar tenaga kerja, Indonesia masih memiliki hambatan struktural dalam menciptakan fleksibilitas tenaga kerja yang optimal, terutama terkait sistem pengupahan dan perlindungan tenaga kerja yang sering kali menghambat pertumbuhan sektor formal.
Selain itu, keanggotaan di OECD akan membawa konsekuensi besar dalam hal transparansi fiskal dan reformasi perpajakan.
Indonesia akan dituntut untuk menyesuaikan diri dengan standar OECD dalam sistem perpajakan global, termasuk kebijakan pajak minimum global yang saat ini mulai diterapkan di berbagai negara.
Reformasi ini bisa menjadi tantangan bagi Indonesia yang masih menghadapi tingkat kepatuhan pajak yang rendah serta ketergantungan yang tinggi terhadap pajak tidak langsung seperti PPN dan cukai.
Jika tidak disiapkan dengan baik, tekanan untuk menaikkan standar perpajakan bisa berujung pada beban tambahan bagi sektor usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
BACA JUGA:Pentingnya Rekening Emas di Bullion Bank
Selain dari sisi ekonomi, aspek sosial dan politik juga harus diperhitungkan. Reformasi yang diperlukan untuk memenuhi standar OECD tidak hanya akan berdampak pada dunia usaha tetapi juga masyarakat secara luas.
Salah satu risiko yang perlu diantisipasi adalah dampak dari kebijakan liberalisasi yang bisa memperlebar kesenjangan sosial.
Studi OECD menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, reformasi ekonomi yang agresif tanpa mitigasi sosial dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan dan memperburuk akses kelompok rentan terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Jika Indonesia ingin mengadopsi kebijakan ala OECD, maka harus dipastikan bahwa langkah-langkah perlindungan sosial tetap menjadi prioritas utama.
Pelajaran penting
Tidak semua negara yang bergabung dengan OECD langsung merasakan manfaat ekonomi yang signifikan. Beberapa negara, seperti Meksiko dan Chile, mengalami proses adaptasi yang sulit setelah menjadi anggota.