Tukang Gendang, Penjaga Tradisi 'Gawai Penganten' Belitong
Tukang Gendang (penabuh Hadrah Ma’indi, penjaga tradisi 'Gawai Penganten' Belitong-Ist-
Perkembangan dan kemajuan zaman terus menjadi topik yang selalu diperbincangan. Perkembangan zaman selalu menjadi korban yang juga disalahkan jika berbicara sebab musabab lunturnya kesenian tradisional.
Padahal letak fundamentalnya terdapat pada bagaimana sikap dan peran masyarakat untuk menyikapi persoalan tersebut. Begitupun Hadrah Ma’indi dan Gawai Penganten mulai kehilangan pesonanya. Apa saja yang menyebabkan masyarakat kian hari mulai enggan menggunakan prosesi tradisional ini.
Berbicara mengenai perkembangan zaman maka juga akan berbicara tentang budaya modern. Bagaimana tren modern pernikahan begitu cepat masuk ke pelosok kampung. Semua ini tak lepas dari pesatnya teknologi yang tidak mengenal jarak. Untuk mengakses informasi saja, dengan hanya bermodalkan jari jempol dan semua jendela dunia terbuka tanpa sekat muncul didepan mata.
Nampaknya intimate wedding menjadi pilihan segar bagi masyarakat. Bagaimana tidak, alternatif ini dibilang lebih modern dan menghemat biaya. Ruang sakral tidak lagi didalam atau di halaman rumah.
Namun rupanya telah berubah menjadi sosok gedung dan restaurant yang lebih menawarkan suasana megah sekaligus memperingkas urusan makanan. Tak jarang dilengkapi dengan seperangkat grup band dan peniup saxophone untuk Ngarak Raje Sehari menuju singgasana pelaminan.
Wira (pelaku budaya) dari Desa Lalang, Manggar, Belitung Timur sepertinya juga merasakan kegelisahan ini. Menurutnya, pergeseran ini bukan hanya tentang Hadrah Ma’indi tapi juga prosesi Berebut Lawang dan peran Mak Inang.
Kendatipun pengaruhnya juga didasari ketika mulai banyak bermunculan wedding organizer (WO) dan makeup artist (MUA). Apakah benar tanda-tanda ini yang menjadi Gawai Penganten dan Hadrah Ma’indi perlahan dikesampingkan?
Kebudayaan memang sangat lentur, sikap dan kebiasaan masyarakatnya pasti akan seiring dengan perkembangan zaman. Tapi, apakah ini menjadi alasan kita untuk tidak peduli dengan persoalan ini? Sedangkan kita tahu bahwa budaya di Pulau Negeri Laskar Pelangi ini sedang terus mencari jati dirinya.
Jika akarnya sudah kuat, akan tumbuh seperti apapun kemungkinan akan tetap kokoh. Apakah mungkin Pulau Belitong sedang tercerabut dari budayanya? Mari kita refleksikan bersama, apa langkah kecil yang harus kita perbuat.
Penerapan dan pemahaman atas pengetahuan Gawai Penganten perlu dimulai dari dasar sekali. Peran pendidikan formal dan informal barangkali menjadi solusi awal untuk menggalangkan pengetahuan ini.
Pendidikan berbasis budaya di sekolah seperti muatan lokal nampaknya juga perlu diselidiki, sejauh mana pengetahuan budaya Belitong telah dipelajari. Apakah mungkin sebatas pelajaran ekstrakulikuler yang masuk kedalam kategori pelajaran pilihan saja.
BACA JUGA:Mengenal Alat Musik Migran di Pulau Belitong
Lalu, bagaimana peran komunitas seni? Sepertinya sibuk untuk terus mengeksplorasi tanpa memperdalam dan meneroka akar budayanya sendiri. Budaya latah perlombaan terus menjadi pondasi utama dalam pelestarian budaya. Padahal mungkin orientasinya hanya tertuju pada kemenangan dan akhirnya saling menggunjing karena karakter kompetitif yang masif.
Memberikan pemahaman kepada pelaku wedding organizer (WO) dan Mak Inang seperti workshop juga merupakan strategi yang baik. Karena, jika pemberian pemahaman ini tepat maka dampak yang ditimbulkan akan menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Begitupun juga pemerintah. Kita tau bahwa potensi utama yang terus dikembangkan dari Pulau Belitong adalah pariwasata budaya. Menurut Budhisantosa (1991) kalaupun kegiatan pariwisata budaya menimbulkan dampak sosial budaya yang negatif, lebih terjadi karena belum siapnya masyarakat setempat atas keterlibatannya secara langsung dalam kegiatan interaksi kegiatan sosial secara luas.