Kontroversi Trump, Aliansi Trans-Atlantik dan Keresahan Pemimpin Eropa

Donald John Trump berada di podium saat resmi menjabat sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat setelah mengambil sumpah jabatan di Capitol Rotunda, Washington DC, pada Senin (20/1/2025) waktu setempat-Youtube@Foxnews-ANTARA

BACA JUGA:Merancang Sistem Agribisnis untuk Efektivitas Food Estate di Indonesia

Tidak hanya itu, Trump mengurangi komitmen pada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), tidak memprioritaskan dukungan Ukraina, dan menekankan diplomasi transaksional untuk mengutamakan Amerika. Trump bahkan berniat mengambil alih Terusan Panama dan mengganti nama Teluk Meksiko menjadi Teluk Amerika.

Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum langsung merespons penamaan baru itu hanya berlaku untuk AS. "Bagi kami, hal tersebut (nama wilayah itu) masih merupakan Teluk Meksiko, sama seperti negara-negara lain di dunia," kata Sheinbaum tegas.

Meskipun sebagian besar langkah-langkah tersebut lebih bersifat simbolik, hal itu tetap mencerminkan kecenderungan Trump untuk memperkuat posisi AS dengan mengabaikan perasaan dan kepentingan negara-negara tetangga serta negara di jalur trans-Atlantik.

Keresahan Eropa

Tak dapat dipungkiri, rentetan kebijakan baru Trump itu telah memicu beragam reaksi dari para pemimpin dunia, terutama di Eropa.

BACA JUGA:Merancang Sistem Agribisnis untuk Efektivitas Food Estate di Indonesia

Negara-negara Eropa, yang telah lama bekerja sama dengan AS dalam banyak aspek, kini menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan hubungan trans-Atlantik yang sudah terbentuk.

Seringkali, kebijakan Trump bertolak belakang dengan kebijakan yang diinginkan oleh negara-negara Eropa, terutama dalam hal multilateralisme dan komitmen terhadap perubahan iklim. Dua hal yang juga menjadi acuan banyak negara di dunia, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang umumnya tahun lalu di New York, AS.

Contohnya, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen belum lama ini mengungkapkan keprihatinannya atas pernyataan Trump yang ingin "merebut Greenland".

Frederiksen menekankan pentingnya mempertahankan keseimbangan dalam kebijakan luar negeri Denmark, terutama di kawasan Arktik, yang kini semakin vital mengingat semakin agresifnya Rusia dan meningkatnya minat China untuk mengakses sumber daya di kawasan tersebut.

BACA JUGA:Fenomena Content Creator di Media Sosial, Kamu Harus Baca! (Analisis Sosiologis Teori Pierre Bourdieu)

Denmark, yang memandang Arktik sebagai bagian dari kebijakan luar negeri mereka, merasa harus memperkuat posisi militernya, terutama untuk menjaga hubungan strategis dengan AS.

Langkah ini, meskipun penting, menambah beban keuangan bagi Denmark, yang kini harus menambah anggaran militer untuk menjaga aliansi yang semakin terancam oleh kebijakan Trump.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock lebih menekankan perlunya Eropa saat ini dan ke depan, lebih 'berani' mandiri dalam mengurus keamanannya sendiri.

Jerman, sebagai salah satu anggota utama NATO, terus menyatakan bahwa meskipun hubungan dengan AS tetap penting, Eropa harus dapat menentukan arah kebijakan luar negeri dan keamanan mereka tanpa tergantung pada satu kekuatan besar.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan