Pakar Menilai Kapabilitas Pemimpin Dapat Jadi Syarat Setelah Penghapusan Ambang Batas

Pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat (Sumbar) Prof Asrinaldi-Istimewa-Antara/HO

BELITONGEKSPRES.COM - Prof. Asrinaldi, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Andalas (Unand), berpendapat bahwa kemampuan kepemimpinan seseorang seharusnya menjadi salah satu syarat penting dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, terutama setelah penghapusan ambang batas pencalonan. Penghapusan ambang batas ini merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024, yang menghapus ketentuan tentang persentase minimum untuk pencalonan presiden dan wakil presiden.

Menurut Asrinaldi, penting untuk menambah syarat yang mempertimbangkan pengalaman sebagai pemimpin dan dalam memimpin pemerintahan. Ia menjelaskan bahwa seorang calon presiden seharusnya memiliki latar belakang yang memadai, bukan sekadar muncul secara tiba-tiba tanpa pengalaman.

Ia menekankan bahwa kapabilitas kepemimpinan harus menjadi pertimbangan penting, terutama mengingat Putusan MK sebelumnya, yaitu Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menyatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Asrinaldi menyadari bahwa meskipun hal ini mungkin akan menimbulkan perdebatan, syarat tersebut seharusnya diatur untuk memastikan bahwa yang terpilih sebagai pemimpin memiliki pengalaman yang relevan dalam politik dan pemerintahan.

Kapabilitas ini, menurutnya, tidak hanya akan menyaring calon yang memiliki visi kebangsaan, tetapi juga berpotensi membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Ia menekankan perlunya diskusi lebih lanjut mengenai persyaratan ini, mengingat hal ini akan menjadi aspek penting dalam politik ke depan.

BACA JUGA:Makan Bergizi Gratis: Langkah Awal Menuju Kesejahteraan Gizi Anak Indonesia

BACA JUGA:15 Juta Penerima Manfaat Menjadi Target Program MBG yang Dimulai 6 Januari 2025

Sebelumnya, pada Kamis, 2 Januari, MK memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan ini diambil karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mahkamah menganggap bahwa ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menghalangi hak konstitusional partai politik yang tidak mencapai persentase suara sah secara nasional untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Selain itu, MK mencatat bahwa perkembangan politik Indonesia cenderung hanya menghasilkan dua pasangan calon dalam setiap pemilu, yang dapat memicu polarisasi di masyarakat dan mengancam keutuhan negara.

Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa presidential threshold tersebut tidak hanya melanggar hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga berseberangan dengan nilai-nilai moral, rasionalitas, dan prinsip keadilan yang seharusnya dipegang dalam sebuah demokrasi. (ant)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan