Ulang Tahun
Dahlan Iskan--
Selama enam tahun itu rasanya hanya dua atau tiga kali saya sangat frustrasi: sampai ingin sekali berhenti menulis. Frustrasinya muncul malam hari --mendekati pukul 21.00. Itulah jam deadline saya: sudah harus kirim naskah ke admin. Dua atau tiga kali itu saya belum menemukan ide tulisan. Padahal sudah mendekati pukul 21.00. Judeg. Buntu. Mondar-mandir. Tetap buntu.
BACA JUGA:GovTech Merdeka
BACA JUGA:GovTech Anas
Lalu muncul pertanyaan: kenapa sih harus menulis? Kenapa harus menyiksa diri seperti ini? Apa salahnya sesekali tidak menulis? Siapa sih yang mengharuskan? Kan tidak ada?
Sulitnya lagi saya harus menjaga mutu tulisan. Satu tulisan harus memenuhi kaidah '’rukun iman'’ yang saya tentukan. Kalau mudah bersikap menurunkan mutu tulisan itu berbahaya: akan menjadi kebiasaan. Buruk sekali.
Itu sulit: mempertahankan mutu.
Apalagi kian lama ruang gerak saya juga kian sempit. Saya tidak bisa lagi menulis tentang Donald Trump. Mengapa? Komentator seperti Bung Mirza sudah menuliskannya dengan baik. Cepat pula. Kadang justru saya yang kalah cepat.
Bung Mirza juga sangat membantu saya soal perang di Gaza. Saya merasa tertohok ketika ada komentar yang mengkritik: kok saya belum juga menulis tentang perang di Gaza. Jujur: saya sulit mencari bahan yang bermutu. Maka ketika Bung Mirza menulis panjang tentang Gaza saya pun horeee... Langsung saya masukkan komentar pilihan.
Tidak kangen komentator?
Tentu saya kangen dengan komentar seperti dari Bung mBediun. Ia lama tidak muncul. Tanpa pamit pula. Semoga ia sudah bahagia di sana --entah di mana dengan siapa.
BACA JUGA:Tetangga N
BACA JUGA:Extra Fast
Satu hilang seribu terbilang. Bahkan kian tahun rasanya kian banyak komentar yang bermutu. Sampai sulit memilihnya. Kadang terpikir juga: komentar pilihan saya terlalu banyak. Ada yang sampai 39. Rata-ratanya saja sekitar 25 --angka pastinya tunggu jurnal resmi dari Bung Fiona.
Tentu saya tidak pernah menetapkan harus berapa yang dipilih. Berapa saja. Toh berapa pun tidak menambah biaya. Beda dengan di koran dulu --perlu kertas tambahan.
Yang saya kaget: kok ada komentar yang dengan benar menebak apa latar belakang saya memilih komentar itu, itu dan itu. Ada yang karena benar-benar bermutu, karena lucu, karena menghormati karya sastra (puisi dan pantun), karena unik dan juga karena kesal hahaha.