Menyelami Diversitas Spiritual
Ares Faujian-Istimewa-
Keberagaman spiritual mencakup berbagai bentuk keyakinan, mulai dari agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Katolik, dan Budha, hingga agama-agama lainnya serta kepercayaan tradisional, spiritualitas non-religius, dan ateisme.
Hal ini mencakup bagaimana individu memahami makna hidup, hubungan mereka dengan yang transenden, serta cara mereka menjalankan ritual atau doa. Keberagaman ini memberikan peluang untuk saling belajar dan memperkaya perspektif tentang kehidupan.
Tantangan Diversitas Spiritual
Keberagaman spiritual, termasuk di Indonesia, memiliki potensi besar untuk memperkaya masyarakat, namun juga menghadirkan sejumlah tantangan. Salah satu tantangan utama yang penulis pelajari dari AFS (2024) adalah prasangka dan diskriminasi.
Prasangka dan diskriminasi ini acap kali terjadi akibat ketidaktahuan atau bisa dikarenakan juga stereotip tentang keyakinan tertentu. Susanto & Mawardi (2023) dalam kajiannya tentang ”Inter-Religious Prejudice in A Multicultural Society” menyampaikan prasangka agama dapat memicu diskriminasi dan kekerasan dalam masyarakat, sehingga mengancam integritas bangsa multikultural.
Mereka mengatakan bahwa pencegahan prasangka dalam beragama dapat dilakukan dengan cara meningkatkan nilai kelompok yang berprasangka, membuka komunikasi, mengkondisikan lingkungan hingga menginternalisasi norma-norma sosial.
Selain itu, ada pula dalam bentuk konflik agama. Irawan (2023) pada risetnya yang berjudul ”Kekerasan Atas Nama Agama dan Solusi Konflik Membangun Perdamaian” memaparkan konflik agama disebabkan oleh faktor-faktor seperti dogma, ritual, teks, kepemimpinan, sejarah, dan moralitas yang dilegitimasi.
Konflik agama diperburuk oleh interpretasi yang berbeda terhadap ajaran-ajaran agama, yang dapat menciptakan ketegangan antara kelompok, di mana ihwal ini memiliki keyakinan yang berlawanan.
Selain itu, peran pemimpin negara atau pemimpin agama dalam memengaruhi pengikutnya turut memperparah situasi. Terutama ketika mereka memanfaatkan otoritas agama untuk kepentingan politik atau pribadi. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat dialog antarumat beragama sebagai langkah preventif dalam mengatasi potensi konflik yang muncul akibat perbedaan keyakinan dan praktik keagamaan.
Selanjutnya, kesalahpahaman juga menjadi tantangan besar dalam masyarakat yang sangat beragam secara spiritual. Dalam masyarakat yang semakin beragam, interaksi antara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat menimbulkan kesalahpahaman, termasuk perihal agama. Ghouse (2022) mengutarakan hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang kebiasaan, nilai, dan norma dari budaya lain.
Kesalahpahaman ini dapat memperburuk hubungan antar individu dan kelompok, terutama dalam konteks agama yang sangat sensitif. Ketika suatu kelompok tidak memahami praktik keagamaan atau keyakinan orang lain, hal ini bisa menimbulkan ketegangan yang lebih besar.
Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pemahaman antarbudaya melalui pendidikan dan dialog yang terbuka agar tercipta rasa saling menghormati dan toleransi di masyarakat.
Terakhir ialah tantangan eksklusivitas. Eksklusivitas adalah tantangan lain yang juga sering ditemui. Beberapa kelompok merasa terpinggirkan atau tidak diterima dalam berbagai sektor kehidupan karena keyakinan mereka.
Di dunia kerja misalnya, ada laporan bahwa karyawan yang beragama minoritas atau mengikuti kepercayaan lokal terkadang kesulitan mendapatkan kesempatan yang setara. Karena mereka dianggap berbeda dengan kuantitas minimalis dari mayoritas. Keberagaman agama berpotensi menjadi sumber ketegangan ketika satu kelompok merasa dominan atau eksklusif, sementara yang lain dimarginalkan.
Penelitian dari Reitsma & Van Nes-Visscher (2023) tentang “Religiously Exclusive, Socially Inclusive?” menunjukkan bahwa meskipun ada kecenderungan eksklusivitas dalam beberapa tradisi agama, ada juga upaya untuk memahami dan mengelola hubungan antara eksklusivitas dan inklusi sosial. Misalnya, teks-teks agama dari tradisi Yahudi dan Kristen telah dieksplorasi untuk memahami bagaimana eksklusivitas dapat diimbangi dengan inklusi sosial dalam konteks modern.