Femisida dan Impunitas, Tantangan Perlindungan Perempuan

Kopri PB PMII turut serta dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (8/12/2024). -KOPRI PB PMII-ANTARA

Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terungkap diyakini berada jauh di bawah jumlah kasus yang tidak dilaporkan.

Ada banyak kendala yang dihadapi perempuan sehingga enggan melaporkan kekerasan yang terjadi padanya, di antaranya takut melapor, malu dan merasa bersalah atas kekerasan yang dialami. Selain itu,  kesulitan mengakses layanan pengaduan, diskriminasi dan reviktimisasi, serta mengakarnya budaya patriarki.

Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) yang dimulai 25 November hingga 10 Desember adalah respons atas situasi darurat kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia.

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun ini mengangkat tema "Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan".

BACA JUGA:Perempuan, Anak, dan Dampak Perubahan Iklim

Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan bahwa jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023 sebanyak 289.111.

Dari jumlah kasus tersebut, 4.347 kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, sementara 3.303 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan berbasis gender.

Ini berarti rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 16 kasus setiap hari.

Data pengaduan tersebut menunjukkan kekerasan berbasis gender (KBG) masih didominasi oleh kekerasan terhadap perempuan di ranah privat, yaitu sebanyak 284.741 kasus (98,5 persen).

Sementara untuk ranah publik sebanyak 4.182 kasus (1,4 persen) dan ranah negara 188 kasus (0,1 persen).

Hal ini menunjukkan fenomena bahwa ruang domestik yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan.

BACA JUGA:Merumuskan Kebijakan Pajak Berkeadilan

Di sisi lain, kekerasan di ranah publik dan negara mencerminkan adanya kegagalan dalam melindungi perempuan di berbagai ruang.

Officer in Charge for Country Representative UN Women Indonesia Dwi Yuliawati Faiz memandang bahwa penegakan hukum yang kuat adalah kunci dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan.

Tag
Share